Pelibatan Bermakna Penyandang Disabilitas untuk Mendorong Ketangguhan


Menurut Hidayaturrohman, dalam upaya membentuk ULD, bukan hanya pemenuhan targetnya yang penting. Rangkaian proses pembentukan ULD yang melibatkan opdis memberikan banyak pelajaran yang akan sangat berguna bagi program-program lainnya. “Bagi kami sendiri di BPBD, proses pembentukan ULD ini membawa perubahan luar biasa. Kami tidak hanya memiliki pemahaman tentang disabilitas, tetapi bagaimana menempatkan mereka dari semula hanya objek penerima bantuan menjadi bagian dari perumus kebijakan. Sebelumnya jangankan melibatkan mereka dalam perencanaan, data pilah disabilitas saja kami tidak punya,” ujarnya.

89 a cover. Metode Interaktif dan Partisipatif dalam Bimtek PB Inklusif scaled

Pengalaman buruk setelah gempa bermagnitudo 7 pada 5 Agustus 2018 mengguncang Pulau Lombok, disusul dengan pandemi Covid-19, membuat penyandang disabilitas di Nusa Tenggara Barat (NTB) seakan berada di titik nadir. Namun, situasi saat ini sangat berbeda. Mereka tidak hanya memiliki pengetahuan penanggulangan bencana, tetapi bahkan dipercaya menjadi aktor utama beragam program kebencanaan, termasuk untuk merealisasikan Unit Layanan Disabilitas di lingkungan pemerintah daerah.

Situasi yang dialami para penyandang disabilitas saat bencana datang sungguh sulit. Sri Sukarni, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Provinsi NTB, mengisahkan saat gempa bumi dahsyat melanda Lombok pada 2018, dia terpaksa keluar rumah dengan merangkak. Sri tak sempat lagi meraih tongkat bantu jalan, apalagi kursi rodanya. “Itu pun baru bisa saya lakukan setelah beberapa saat guncangan terhebatnya lewat. Sebelumnya di tengah kepanikan saya hanya bisa berdiam diri sambil memeluk anak saya,” tuturnya saat ditemui pada pertengahan Agustus lalu.

Sri bahkan mengaku saat itu tidak tahu kenapa harus buru-buru keluar rumah. Dia hanya mengikuti respons orang-orang di sekitarnya. Belum pernah ada satu pun orang yang pernah memberi tahunya apa yang harus dilakukan saat gempa maupun bencana lain tiba.

Sebagai pemimpin organisasi, saat itu Sri sempat teringat nasib anggotanya. Namun, tak ada yang bisa dia lakukan karena dia harus berjuang memastikan keselamatan diri dan keluarganya dalam upaya bertahan hidup selama pengungsian. Bantuan untuk penyambung hidup sulit didapat. Kebingungan dan keputusasaan melanda karena mereka tak mengerti siapa yang berwenang membantu, atau setidaknya bisa dimintai tolong. Sri mencontohkan, saat sebagian besar korban mendapatkan bantuan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), mayoritas penyandang disabilitas bahkan tidak memahami siapa dan di mana BPBD itu berada.

Hal serupa disampaikan Topan Mars Arifin, Ketua Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Provinsi NTB. Tak hanya saat terjadi bencana, ketika sampai di pengungsian pun, penyandang disabilitas mengalami kesulitan yang berlipat. Tidak ada perspektif disabilitas di seluruh fasilitas umum pengungsian, misalnya kamar mandi yang ramah. Para penyandang disabilitas pun sangat kesulitan mengaksesnya secara aman. Belum lagi bantuan logistik yang lagi-lagi menyamaratakan kebutuhan seluruh pengungsi. Padahal, para penyandang disabilitas memiliki kebutuhan berbeda sesuai jenis disabilitasnya.

Selain minimnya pengetahuan kebencanaan dan tidak terpenuhinya kebutuhan penyandang disabilitas saat bencana, menurut Topan juga ada faktor persepsi pihak luar terutama pemerintah. Umumnya, mereka masih menganggap dan memosisikan penyandang disabilitas sebagai orang-orang yang tidak memiliki kemampuan sehingga hanya perlu diberi bantuan.

Analis Kebijakan Ahli Muda Subkoordinator Kerja Sama Penanggulangan Bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi NTB Hidayaturrohman mengakui hal itu. Ia mengungkapkan, tidak sedikit staf pemerintah daerah yang belum memiliki pola pikir jika penyandang disabilitas adalah berkebutuhan khusus dan cenderung menganggapnya memiliki kekurangan. “Inilah antara lain penyebab ketika terjadi bencana, tidak ada yang membedakan kebutuhan penyandang disabilitas dengan yang lain. Semua disamakan karena tidak terpikirkan,” ungkapnya.

Ketika pemerintah daerah maupun lembaga nonpemerintah akhirnya mengundang perwakilan penyandang disabilitas dalam rapat-rapat pun, biasanya lebih karena ada syarat pelibatan mereka. “Jadi semacam sebagai objek atau tempelan. Sekadar diundang saja tanpa dilibatkan dalam pembahasan apapun,” tandasnya.

Pintu kesempatan mulai terbuka saat Arbeiter-Samariter-Bund (ASB), sebuah lembaga nonpemerintah, meminta Sri beserta rekan di HWDI NTB terlibat dalam kegiatan pendataan kaji cepat (rapid assessment) terhadap penyandang disabilitas yang terdampak gempa saat masa tanggap darurat masih berlaku. Rangkaian kegiatan itu dilakukan di dua desa di Kabupaten Lombok Utara, mencakup peningkatan kapasitas tentang penanggulangan bencana inklusif dan teknik melakukan kaji cepat beserta analisisnya.

Saat itulah, Sri baru mengetahui bahwa di banyak lokasi tidak ada jalur evakuasi yang ramah bagi disabilitas. Artinya, jika digabungkan dengan minimnya pengetahuan, terbatasnya jaringan, hingga pelibatan sebagai objek belaka, kesulitan yang dialami penyandang disabilitas menjadi berlipat ganda dan kemungkinan menjadi korban saat bencana pun makin besar.

Pendekatan berbeda

Masuknya Program SIAP SIAGA ke NTB pada 2022 membuka pintu yang lebih lebar bagi penyandang disabilitas. Dengan mengutamakan perspektif gender, disabilitas dan inklusi sosial (GEDSI), BPBD NTB didukung program SIAP SIAGA mendorong pelibatan organisasi penyandang disabilitas (opdis) dalam berbagai kegiatan, dengan salah satu targetnya membentuk Unit Layanan Disabilitas (ULD) di BPBD Provinsi NTB. ULD dibentuk sebagai realisasi wadah kerja bersama sekaligus advokasi terkait hak-hak penyandang disabilitas dalam penanggulangan bencana oleh kelompok-kelompok penyandang disabilitas beserta pemerintah daerah.

Pelibatan secara sungguh-sungguh, atau pelibatan bermakna, tersebut membawa dampak bagi kelompok penyandang disabilitas maupun jajaran pemerintah daerah. “Bedanya sangat jelas buat kami. Di Program SIAP SIAGA, kami dilibatkan benar-benar dari awal. Dari perencanaan. Selain dibuka ruang berpendapat, pendapat kami juga bukan cuma tempelan, melainkan memang menjadi bagian dari poin-poin pertimbangan saat rapat,” kata Sri.

89 c. Diskusi Kelompok dalam Bimtek PB Inklusif scaled

Menurutnya, sejak pertemuan multipihak pertama yang melibatkan dirinya, kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya secara langsung di depan forum sudah dibuka lebar secara setara. Pertemuan itu berupa penyusunan Kajian Risiko Bencana (KRB) dan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) di Kabupaten Lombok Utara. “Tidak mudah bagi opdis, apalagi perempuan penyandang disabilitas, untuk membangun relasi dengan lembaga lain. Sebab dua isu utama yang kami perjuangkan, yakni perempuan dan disabilitas, bukan termasuk hal yang biasanya mendapat perhatian khusus,” tambahnya.

Di dalam forum-forum tersebut, perwakilan opdis berkesempatan mengampanyekan dan mendorong isu inklusi disabilitas agar lebih diintegrasikan dalam rencana-rencana pembangunan, utamanya soal kebencanaan. Selain itu, mereka juga belajar tentang kebencanaan dan proses-proses strategis seperti peninjauan kebijakan.

Meleburkan ego

89 d. Anggota LIDI Foundation presentasi tentang SPM SUB dalam Bimtek PB Inklusif scaled

Topan pun merasakan hal yang sama. Pelibatan penyandang disabilitas dalam Program SIAP SIAGA bukan sekadar sebagai peserta rapat, melainkan juga sebagai narasumber. “Ini tidak pernah terjadi sebelumnya bila bicara tentang program bersama pemerintah. Model pendekatan ini membuat kami di Pertuni merasa nyaman untuk berpendapat maupun berkontribusi lebih aktif,” ungkapnya.

Rasa nyaman ini penting, sebab ternyata baru di kegiatan yang di dukung Program SIAP SIAGA ini organisasi-organisasi penyandang disabilitas (opdis) di NTB bisa bergabung dan berkolaborasi. Sebelumnya, mereka seperti dipisahkan oleh sekat-sekat sehingga sulit untuk bekerja sama. Perbedaan kepentingan hingga hambatan psikologis antara lain menjadi penyebab munculnya sekat-sekat itu. Dengan membuka ruang yang sama dan setara bagi opdis di NTB untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penanggulangan bencana, berbagai sekat itu ternyata bisa diretas dan menumbuhkan solidaritas.

Topan mengakui, sekat-sekat antaropdis itu muncul antara lain karena seringkali opdis hanya dijadikan tempelan program. Pengelola program tertentu merasa sudah cukup inklusif dengan melibatkan satu atau dua opdis saja, sehingga ada opdis yang lain merasa tidak mendapat akses. Padahal, ada beragam opdis dengan fokusnya masing-masing, mengikuti beragamnya jenis disabilitas.

Dengan membuka ruang yang melibatkan lebih banyak opdis, mereka akhirnya dapat melebur ego masing-masing dan mengejar tujuan yang sama yaitu mendorong kebijakan yang berpihak pada penyandang disabilitas, dengan realisasi ULD di BPBD Provinsi NTB sebagai salah satu targetnya. “Tentunya kelak setelah berhasil terealisasi dan berjalan baik, kami bersama-sama akan mendorong pembentukan ULD di seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) kabupaten/kota di NTB,” ujarnya bersemangat.

Selain HWDI dan Pertuni, dua opdis besar lainnya di NTB yakni Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) dan Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) bergabung dalam upaya membentuk ULD. Kesediaan bergabung juga didasari rasa percaya organisasi-organisasi tersebut, bahwa pada proses kali ini mereka benar-benar menjadi subjek.

Selain menyuarakan kebutuhan khusus, proses ini sekaligus dijadikan momen menyosialisasikan hal-hal terkait disabilitas. Bagaimanapun, menurut Topan, secara umum masyarakat NTB tidak terkecuali yang berada di birokrasi pemerintah masih menganggap disabilitas hanya terkait fisik, misalnya tidak memiliki tangan atau kaki. Sedangkan mereka yang disabilitas netra dan intelektual tidak dianggap disabilitas. “Ini pula yang menjadi tujuan ULD kelak,” tegasnya.

Hidayaturrohman menjelaskan, perihal ULD sebenarnya sudah diatur di dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi NTB No. 4 Tahun 2019 tentang Pelindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Menurut perda tersebut, ULD adalah bagian dari satu institusi atau lembaga yang berfungsi sebagai penyedia layanan dan fasilitas untuk penyandang disabilitas Hanya saja, baru dua bidang yang disebutkan wajib menyelenggarakannya, yaitu pendidikan dan ketenagakerjaan.

“Sebenarnya ULD di ketenagakerjaan juga sudah terbentuk. Namun berdasarkan pernyataan teman-teman opdis, pelibatannya tidak seperti di BPBD. Di sini memang sejak proses awal sangat membuka ruang peran buat mereka, kami cenderung mengurangi dominasi,” katanya.

Rintisan pembentukan ULD di BPBD sudah dimulai sejak 2023. Setelah melalui banyak pertemuan, akhirnya mengerucut berupa pembentukan kelompok kerja (pokja) yang terdiri dari opdis, Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB), dan BPBD. Selain empat opdis yang telah disebut, turut bergabung kemudian adalah LIDI Foundation, Yayasan Tulus Angen Community, dan Pusat Pengembangan Potensi Disabilitas.

Upaya tersebut akhirnya menuai hasil. BPBD Provinsi NTB meresmikan ULD pada 3 Desember 2024, bertepatan dengan peringatan Hari Penyandang Disabilitas Internasional. Acara peresmian tersebut dihadiri oleh Direktur Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Pangarso Suryotomo, Asisten III Sekretaris Daerah (Setda) NTB Wirawan Ahmad, Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) NTB Rahmat Sabani, para pengurus ULD BPBD Provinsi NTB, perwakilan organisasi-organisasi penyandang disabilitas di NTB, dan mitra pembangunan di NTB. Dengan peluncuran tersebut, NTB menjadi provinsi keempat di Indonesia yang memiliki ULD BPBD. Tiga provinsi lainnya adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur.

Perubahan cara pandang

Menurut Hidayaturrohman, dalam upaya membentuk ULD, bukan hanya pemenuhan targetnya yang penting. Rangkaian proses pembentukan ULD yang melibatkan opdis memberikan banyak pelajaran yang akan sangat berguna bagi program-program lainnya. “Bagi kami sendiri di BPBD, proses pembentukan ULD ini membawa perubahan luar biasa. Kami tidak hanya memiliki pemahaman tentang disabilitas, tetapi bagaimana menempatkan mereka dari semula hanya objek penerima bantuan menjadi bagian dari perumus kebijakan. Sebelumnya jangankan melibatkan mereka dalam perencanaan, data pilah disabilitas saja kami tidak punya,” ujarnya.

Sri pun mengakui hal itu. Ia merasakan ada perubahan cara pandang di BPBD baik di level provinsi NTB maupun Kabupaten Lombok Utara terhadap opdis setelah adanya proses bersama di Program SIAP SIAGA. Selain sudah dianggap setara, kini sudah ada anggaran khusus penanggulangan bencana untuk disabilitas di kedua institusi tersebut. “Termasuk juga di Desa Pemenang Barat Lombok Utara juga sudah mengikuti mulai menganggarkan khusus bagi disabilitas,” katanya.

89 e. Bimtek PB Inklusif Sept 2023 scaled

Dengan perubahan tersebut, ruang bagi opdis untuk meningkatkan pengetahuan dan kapasitas dalam proses perumusan kebijakan yang strategis khususnya bagi penyandang disabilitas di NTB kian terbuka. Hal itu membuat opdis memiliki fondasi yang lebih kuat untuk melakukan berbagai aktivitas lain, termasuk untuk terlibat dalam berbagai program yang diadakan oleh institusi dan lembaga lain. Pada tahun 2023, misalnya, HWDI mendapatkan hibah dari Caritas Jerman untuk menjalankan program Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Berbasis Komunitas di dua desa di Kabupaten Lombok Utara. Program ini bertujuan meningkatkan pemahaman dan kapasitas pemerintah desa, masyarakat dan lembaga di desa tentang penanggulangan bencana inklusif.

Hal serupa dirasakan Topan. Proses mendorong ULD BPBD NTB tidak hanya membuat opdis semakin memahami berbagai regulasi terkait hak-hak penyandang disabilitas, melainkan juga membuka ruang bagi anggota opdis untuk berani berekspresi dan menyampaikan pendapat. Adanya ruang-ruang yang bisa mendorong keberanian untuk berekspresi semacam itu sangat berhubungan erat dengan tingkat kesejahteraan penyandang disabilitas, karena akan bisa meningkatkan rasa percaya diri untuk terlibat dalam berbagai kegiatan di masyarakat, termasuk dalam mengakses kesempatan kerja.

Melihat dampak baik dari proses pembentukan ULD BPBD NTB, Pertuni bertekad mendorong keberadaan ULD hingga di level kabupaten/kota. Mereka siap berbagi proses yang dijalani selama membentuk ULD di BPBD NTB, bahkan bersedia menempatkan anggotanya ke seluruh ULD yang telah terbentuk. “Keberadaan ULD sangat penting, bagi kami maupun OPD. Kami optimistis kolaborasi, terutama di bidang kebencanaan ini, akan terus jalan karena selain ada komitmen, juga ada BPBD sebagai poros,” ujarnya.

Peningkatan kapasitas

469246662 880366297621376 3216852736439994993 n

Pelibatan bermakna penyandang disabilitas di NTB dalam program penanggulangan bencana, yang salah satunya diimplementasikan dengan mendorong pembentukan ULD, telah mendorong perubahan baik bagi opdis yang terlibat maupun instansi pemerintah selaku penyedia layanan. Pelibatan bermakna dengan menempatkan opdis sebagai bagian penting pembentukan ULD, yang direalisasikan antara lain dengan memberi ruang bagi perwakilan opdis untuk menjadi fasilitator hingga narasumber diskusi, serta memberi ruang bagi berbagai opdis yang ada di NTB untuk terlibat, telah meningkatkan kapasitas opdis dan anggotanya. Ini menjadi bekal bagi opdis untuk terus terlibat secara aktif dalam forum-forum multipihak lainnya, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak penyandang disabilitas. Sedangkan bagi instansi pemerintah, rangkaian diskusi dalam proses pembentukan ULD bisa mengubah cara pandang sehingga opdis tidak lagi dilihat sebagai objek melainkan subjek pembangunan yang suaranya harus didengar dan hak-haknya dipenuhi. Dengan begitu, tidak akan ada satupun yang ditinggalkan dalam upaya mendorong ketangguhan.

logo siapsiaga white

Kami akan senang mendengar dari Anda.
Jangan ragu untuk menghubungi menggunakan detail di bawah ini.

Alamat:
SIAP SIAGA
Treasury Tower 59th Floor, District 8 SCBD Lot 28, Jl. Jend. Sudirman Kav 52 – 53
Jakarta Selatan, 12190, Indonesia
Telepon: +6221 7206616
Email: siap.siaga@thepalladiumgroup.com