Dalam pidatonya di sesi pembukaan, Catherine Meehan mengatakan bahwa pertukaran pengetahuan adalah kunci inovasi dan pembelajaran bersama untuk mendukung pengurangan risiko bencana (PRB) yang efektif. Hal itulah yang dilakukan Pemerintah Australia saat berkolaborasi dengan negara lain, termasuk Indonesia, dalam program penanggulangan bencana. “Wujudnya antara lain melalui pertemuan ini, yang bertujuan memperkuat jaringan serta mendukung pengembangan komunitas tangguh yang inklusif. Dengan mengedepankan pengelolaan risiko bencana yang inklusif, kemitraan ini mendorong pencapaian tujuan PRB berkelanjutan,” katanya. Melalui rangkaian aktivitas yang berakhir pada perumusan rencan aksi tersebut, para peserta diharapkan bisa menyelaraskan pemahamannya terkait peluang dan tantangan menyeluruh dalam tata kelola pengelolaan risiko bencana, sekaligus meningkatkan kapasitasnya dalam mendorong kebijakan yang sesuai kebutuhan.

Kebijakan berbasis bukti sangat dibutuhkan dalam penanggulangan bencana dan perubahan iklim agar bisa tepat sasaran sesuai kebutuhan. Oleh karena itu, perlu ada penyelarasan pengetahuan di antara para pemangku kepentingan bidang kebencanaan dan perubahan iklim sehingga bisa mendorong pemahaman kolektif dalam mendorong kebijakan yang relevan.
Sebagai upaya untuk mendorong penyelarasan pengetahuan kebencanaan dan perubahan iklim, Program SIAP SIAGA menggelar kegiatan bertajuk Garda SIAGA Policy Bootcamp pada 2-5 Desember 2024 di Hotel Vertu Harmoni Jakarta. Kegiatan yang diselenggarakan bekerja sama dengan Think Policy ini diikuti 26 peserta yang berasal dari unsur pemerintah nasional dan daerah, perwakilan rekan pelaksana program, serta perwakilan empat provinsi area kerja Program SIAP SIAGA yakni Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), dari unsur Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB), organisasi masyarakat, akademisi, dan media.

Sesi pembukaan kegiatan ini dihadiri antara lain oleh First Secretary for Humanitarian Affairs Kedutaan Besar Australia Catherine Meehan; Analis Kebencanaan Ahli Madya Direktorat Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Pratomo Cahyo Nugroho; pendiri Think Policy Andhyta Firselly Utami; serta Team Leader Program SIAP SIAGA Lucy Dickinson.
Dalam pidatonya di sesi pembukaan, Catherine Meehan mengatakan bahwa pertukaran pengetahuan adalah kunci inovasi dan pembelajaran bersama untuk mendukung pengurangan risiko bencana (PRB) yang efektif. Hal itulah yang dilakukan Pemerintah Australia saat berkolaborasi dengan negara lain, termasuk Indonesia, dalam program penanggulangan bencana. “Wujudnya antara lain melalui pertemuan ini, yang bertujuan memperkuat jaringan serta mendukung pengembangan komunitas tangguh yang inklusif. Dengan mengedepankan pengelolaan risiko bencana yang inklusif, kemitraan ini mendorong pencapaian tujuan PRB berkelanjutan,” katanya.
Senada dengan Meehan, Pratomo menjelaskan bahwa BNPB berkomitmen melakukan pendekatan inklusif dengan rutin mengundang para pihak di bidang manajemen risiko bencana untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman. “Dengan semangat kolaborasi dan inovasi, Pemerintah Indonesia berupaya mewujudkan resiliensi berkelanjutan, yang tidak hanya melindungi, tetapi juga memperkuat kapasitas masyarakat dalam menghadapi tantangan bencana di masa depan,” ujarnya.
Menurut Lucy Dickinson, Garda SIAGA Policy Bootcamp diselenggarakan untuk mendorong pengembangan rencana aksi strategis sekaligus menjadi wadah untuk menghasilkan ide-ide baru melalui pendekatan kolaboratif. “Diperlukan pendekatan yang lebih gesit dan inklusif untuk menghadapi meningkatnya kompleksitas risiko akibat perubahan iklim,” katanya.
Adapun Andhyta Firselly Utami menyoroti pentingnya pemetaan potensi sumber daya lokal dalam penanggulangan bencana, termasuk perlunya kolaborasi di antara para pemangku kepentingan. Hal itu dapat menghasilkan solusi berkelanjutan yang sesuai dengan kebutuhan di lapangan, termasuk kebutuhan dari kelompok rentan. “Identifikasi dan pemetaan sumber daya lokal menjadi langkah kunci untuk membantu meminimalkan ketergantungan pada bantuan eksternal dan mempercepat respons terhadap bencana. Demikian pula dengan kepercayaan dan komunikasi yang kuat antarpemangku kepentingan,” tuturnya.
Bincang ahli

Kegiatan yang dikemas dalam bentuk lokakarya ini terdiri dari tiga aktivitas utama, yaitu Bincang Ahli, Pembelajaran Antarrekan, dan Pembuatan Rencana Aksi. Untuk aktivitas Bincang Ahli, ada tiga sesi yang diselenggarakan.
Sesi pertama bertema “Mengintegrasikan Manajemen Risiko Bencana ke Dalam Perencanaan dan Penganggaran”, dengan narasumber Juliet Willetts dari University of Technology Sydney dan Rusmanto, Perencana Pertama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas). Juliet Willetts mengingatkan vitalnya peran air bersih untuk ketahanan masyarakat menghadapi perubahan iklim. Di Indonesia, lebih dari 34% sistem air pedesaan berada dalam risiko tinggi tanpa mitigasi memadai. Untuk itu, integrasi manajemen risiko bencana dengan perencanaan dan penganggaran layanan air bersih di pedesaan sangatlah penting. “Jadi yang harus segera dilakukan adalah peningkatan kesiapsiagaan dan respons bencana, percepatan akses pendanaan, pemantauan risiko iklim, serta perencanaan berbasis risiko yang mengintegrasikan ketahanan iklim ke dalam pengelolaan tata guna lahan dan infrastruktur,” ujarnya.
Sementara Rusmanto lebih menyoroti pendekatan penanggulangan bencana di Indonesia yang masih cenderung reaktif, termasuk dalam konteks bencana hidrometereologi. Meskipun sudah ada regulasi di pusat dan daerah terkait pembiayaan serta tata ruang, tantangan utama adalah mengubah paradigma penanggulangan bencana dari reaktif menjadi preventif. “Realisasi transformasi paradigma itu butuh kemauan politik, pendanaan yang tepat, dan keterlibatan semua pihak,” ujarnya.
Di sesi Bincang Ahli selanjutnya, tema yang diambil adalah “Mengoperasionalkan Kerangka Konseptual Resiliensi Berkelanjutan: Konvergensi Pengurangan Risiko Bencana, Adaptasi Perubahan Iklim, dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan”. Narasumber sesi ini adalah Jeong Park, Disaster Risk Reduction Adviser Australia Pacific Climate Partnership, dan Raditya Jati, Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB.

Menurut Jeong Park, sebagai negara yang sangat rentan terhadap bencana terkait iklim seperti cuaca ekstrem, banjir, dan naiknya permukaan laut, sangat penting bagi Indonesia untuk mengintegrasikan isu perubahan iklim dalam strategi manajemen risiko bencana melalui pencegahan, mitigasi, dan adaptasi. Contohnya, integrasi antara sektor pendidikan dan kemanusiaan dalam membangun infrastruktur yang tahan iklim, mengembangkan kurikulum literasi iklim, dan mengadopsi program kemanusiaan yang ramah lingkungan. “Contoh tersebut ada di kepulauan Pasifik. Jadi memang penting untuk menghubungkan sektor pembangunan, kemanusiaan, dan manajemen risiko bencana untuk mengurangi kerentanan. Dan kolaborasi ini harus disertai komunikasi yang mudah dipahami oleh semua pemangku kepentingan,” katanya.
Penekanan berulang pada kata kolaborasi dan integrasi pada lokakarya ini bukan tanpa sebab. Raditya Jati menuturkan, resiliensi berkelanjutan hanya dapat tercapai melalui integrasi lintas sektor dan pendekatan holistik. Di Indonesia, tantangan besarnya ada pada kerangka kerja antarsektor yang terfragmentasi dan ketergantungan pada siklus politik. Untuk itu, perlu strategi sistemik yang menghindari silo, investasi jangka panjang, serta literasi kebijakan. “Sangat penting menjembatani ego sektoral, apalagi dengan tantangan keberagaman dan ketimpangan kapasitas antarwilayah yang memengaruhi implementasi resiliensi. Literasi bencana serta forum dialog berkelanjutan menjadi penting untuk memahami tantangan lokal. Sebab resiliensiharus dimulai dari tingkat lokal,” ujarnya.
Tema “Tata Kelola Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial” diangkat dalam Bincang Ahli ketiga. Narasumber sesi ini adalah Connie Susilawati, Associate Professor Queensland University of Technology, dan Lutri Huriyani, Gender Specialist Program SIAP SIAGA. Connie Susilawati yang memaparkan studi perbandingan kelompok rentan di wilayah banjir di Lismore, Australia dan Surabaya mengungkapkan masih rendahnya kesadaran masyarakat terkait dukungan untuk kelompok rentan. Itulah mengapa kearifan lokal penting dalam pengelolaan risiko bencana. Ia merekomendasikan peningkatan literasi bencana, konsultasi masyarakat, pengintegrasian kearifan lokal, dan kolaborasi multipihak untuk kebijakan yang inklusif dan berkelanjutan.

Resistensi budaya dan fragmentasi regulasi juga diakui Lutri Huriyani sebagai hambatan penanggulangan bencana di Indonesia. Guna mengatasinya, diperlukan harmonisasi regulasi, penyusunan data terpilah yang dapat mendukung pengambilan keputusan berbasis data, dan pengembangan perangkat monitoring terutama dengan indikator Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI). Indikator GEDSI ini penting untuk diterapkan, dengan fokus pada akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat untuk kelompok rentan. “Jadi saya mengusulkan strategi inklusif dua arah yang melibatkan kelompok rentan, yaitu dalam proses pengambilan keputusan serta pemberian ilmu dan pemantauan untuk memastikan keberlanjutan dan efektivitas partisipasi mereka,” ujarnya.
Rencana aksi

Aktivitas berikutnya dari Garda SIAGA Policy Bootcamp adalah pembelajaran antarrekan yang bertujuan mendorong peserta memahami tantangan, peluang, serta strategi kolaborasi yang dapat dilakukan. Bagian ini juga dibagi dalam tiga sesi dengan tema yang berbeda. Sesi pertama bertema “Membangun Efektivitas Capaian Standar Pelayanan Minimal Sub-Urusan Bencana (SPM-SUB)”, sesi kedua mengupas tema “Memperkuat Keterlibatan Bermakna Kelompok Berisiko dalam Manajemen Risiko Bencana”, dan sesi ketiga bertema “Menguatkan Ketangguhan Lokal Berbasis Desa”.
Di setiap sesi, peserta yang dibagi dalam sejumlah kelompok diminta membuat rencana aksi kolektif dan mengintegrasikan rencana mereka dengan regulasi terkait, seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ataupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dengan melakukan kegiatan tersebut, peserta diharapkan bisa melakukan refleksi terhadap berbagai implementasi program sehingga bisa melihat aspek integrasi regulasi dan lintas sektor yang telah berjalan selama ini.

Aktivitas ketiga atau terakhir dari lokakarya ini adalah perumusan Rencana Aksi yang bertujuan mendorong peserta mengidentifikasi tujuan kolektif dan individu yang mungkin untuk diterapkan di lingkup masing-masing. Fokusnya adalah implementasi jangka pendek, yakni 3-5 tahun. Melalui rangkaian aktivitas yang berakhir pada perumusan rencan aksi tersebut, para peserta diharapkan bisa menyelaraskan pemahamannya terkait peluang dan tantangan menyeluruh dalam tata kelola pengelolaan risiko bencana, sekaligus meningkatkan kapasitasnya dalam mendorong kebijakan yang sesuai kebutuhan.

Program SIAP SIAGA adalah Kemitraan Australia-Indonesia yang bertujuan untuk menguatkan ketangguhan bencana di Indonesia dan Kawasan Indo-Pasifik
HUBUNGI KAMI
Kami akan senang mendengar dari Anda.
Jangan ragu untuk menghubungi menggunakan detail di bawah ini.
Alamat:
SIAP SIAGA
Treasury Tower 59th Floor, District 8 SCBD Lot 28, Jl. Jend. Sudirman Kav 52 – 53
Jakarta Selatan, 12190, Indonesia
Telepon: +6221 7206616
Email: siap.siaga@thepalladiumgroup.com