Lebih lanjut, Yogi menjelaskan bahwa PFB adalah skema mengumpulkan, mengakumulasi dan menyalurkan dana khusus bencana oleh sebuah lembaga pengelola dana. Pembentukan PFB ditujukan untuk melindungi APBN dari tekanan akibat bencana melalui upaya proaktif di masa prabencana, dengan investasi berupa akumulasi dana dan transfer risiko melalui asuransi. Sumber dananya bisa dari donor internasional dalam bentuk hibah dan dana perwalian. Untuk itu, sinergi dan integrasi anggaran dari berbagai sumber potensial menjadi penting. “PFB menjadi salah satu elemen PARB, sekaligus menjadi kunci untuk mengorkestrasi instrumen yang berbeda-beda dalam ekosistem pendanaan bencana,” ujar Yogi.

Upaya memastikan resiliensi berkelanjutan membutuhkan dukungan pembiayaan yang tidak sedikit sehingga perlu memanfaatkan potensi pendanaan di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Perlu terobosan agar berbagai potensi pendanaan yang ada bisa terintegrasi dengan baik sehingga bisa digunakan secara maksimal.
Hal tersebut mengemuka dalam seminar “Akses Pendanaan untuk Resiliensi Berkelanjutan” yang diselenggarakan di Hotel Artotel Senayan, Jakarta pada 20 Agustus 2024. Seminar ini adalah seri keempat dari rangkaian seminar terkait resiliensi berkelanjutan yang diadakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan dukungan dari Program SIAP SIAGA.
Pembicara kunci dalam seminar ini adalah Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral Badan Kebijakan Fiskal Yogi Rahmayanti, dengan sambutan oleh Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Raditya Jati, First Secretary Departement of Foreign Affair & Trade Kedutaan Besar Australia Catherine Meehan, dan Team Leader Program SIAP SIAGA Lucy Dickinson. Adapun dalam sesi pemaparan ada sejumlah pembicara, yaitu Sekretaris Direktorat Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Beni Sujanto, serta Direktur Mobilisasi Sumber daya Sektoral dan Regional Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wahyu Marjaka..
STeam Leader Program SIAP SIAGA Lucy Dickinson mengungkapkan, secara khusus seminar ini berfokus pada mekanisme pendanaan resiliensi berkelanjutan yang tidak hanya inovatif tetapi juga inklusif. “Artinya, diskusi ini menjadi kesempatan unik bagi beberapa pihak, seperti ilmuwan, pembuat kebijakan, dan lembaga keuangan untuk berkolaborasi,” katanya.
Pentingnya kolaborasi untuk membangun resiliensi berkelanjutan juga digarisbawahi oleh First Secretary Departement of Foreign Affair & Trade Kedutaan Besar Australia Catherine Meehan. Menurut dia, salah satu aspek kunci dalam membangun resiliensi adalah akses keuangan. “Sehingga penting untuk mendukung komunitas yang rentan, misalnya UMKM (Usaha, mikro, kecil dan menengah), untuk membangun resiliensi di bidang ekonomi, agar mereka dapat bertahan saat bencana dan pulih saat pascabencana,” ujarnya.

Dalam sambutannya, Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Raditya Jati mengatakan, pembahasan yang progresif dan tidak sekadar reaktif sangat dibutuhkan mengingat risiko bencana saat ini memiliki risiko sistemik. Ekonomi bangsa sangat terancam jika terjadi bencana. Dana untuk memulihkan Aceh pascatsunami, misalnya, melonjak dari Rp 78 triliun menjadi Rp 113 triliun. Raditya juga merujuk pada pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa Indonesia membutuhkan anggaran lebih dari Rp 22 triliun per tahun untuk penanggulangan bencana. Jika mengacu pada angka investasi PRB (Disaster Risk Reduction DRR Investment) yang ideal, anggaran untuk penanggulangan bencana mestinya mencapai 0,3 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). “Yang berarti Indonesia membutuhkan sekitar Rp 67 triliun per tahun,” katanya..
Dana Bersama Bencana
Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral Badan Kebijakan Fiskal Yogi Rahmayanti mengungkapkan, nilai anggaran penanggulangan bencana tidak akan mampu ditanggung seluruhnya oleh APBN. Untuk itu, strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) sangat dibutuhkan. Saat ini, Kementerian Keuangan sedang mendorong instrumen keuangan bernama Dana Bersama Bencana (Pooling Fund Bencana/PFB) sebagai salah satu PARB.
Lebih lanjut, Yogi menjelaskan bahwa PFB adalah skema mengumpulkan, mengakumulasi dan menyalurkan dana khusus bencana oleh sebuah lembaga pengelola dana. Pembentukan PFB ditujukan untuk melindungi APBN dari tekanan akibat bencana melalui upaya proaktif di masa prabencana, dengan investasi berupa akumulasi dana dan transfer risiko melalui asuransi. Sumber dananya bisa dari donor internasional dalam bentuk hibah dan dana perwalian. Untuk itu, sinergi dan integrasi anggaran dari berbagai sumber potensial menjadi penting. “PFB menjadi salah satu elemen PARB, sekaligus menjadi kunci untuk mengorkestrasi instrumen yang berbeda-beda dalam ekosistem pendanaan bencana,” ujar Yogi.

Perlunya sinergi anggaran kebencanaan di Kementerian/Lembaga (K/L) dibenarkan Sekretaris Direktorat Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Beni Sujanto. Menurutnya, anggaran Kementerian Sosial tidaklah cukup untuk menangani risiko bencana yang ada. “Kami punya bufferstock di beberapa gudang untuk memenuhi kebutuhan darurat bencana secara cepat berupa pangan, sandang, perlindungan untuk antisipasi jika terjadi bencana susulan. Tapi sekali lagi, itu semua tetap kurang jika terjadi banyak terjadi bencana apalagi yang berdampak panjang,” katanya.
Pembentukan badan khusus pengelola dana kebencanaan juga dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Direktur Mobilisasi Sumber daya Sektoral dan Regional Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Wahyu Marjaka mengatakan, KLHK membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sebagai bagian dari strategi pembiayaan untuk ketahanan iklim. Ini karena APBN hanya mampu menanggung 34 persen dari kebutuhan anggaran pengendalian perubahan iklim. BPDLH secara sistematis akan menghimpun pendanaan perlindungan lingkungan serta penyalurannya. Adapun dananya bisa bersumber dari dana publik dan swasta di dalam negeri maupun di luar negeri termasuk dukungan bilateral, lembaga internasional, swasta, maupun filantropi.
Beragam pendekatan
Selain para pembicara kunci, dalam seminar ini digelar pula diskusi panel bertema “Menjembatani Kesenjangan: Solusi Inovatif untuk Meningkatkan Ketahanan di Komunitas Rentan”. Diskusi panel tersebut menghadirkan narasumber antara lain Analis Bencana Direktorat Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB Franta Evelin, Kepala Bidang Impact Investment Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Devyta Wijaya, Division Head Social Enterpreneurship and Incubation Division Bank Rakyat Indonesia (BRI) Evi Sulistyowati, dan Senior Financial Sector Specialist, Team Leader Finance, Competitivenes and Innovation World Bank Indonesia Dara Lengkong.
Terkait integrasi pendanaan, Franta Evelin dari BNPB mengungkapkan bahwa hal itu masih menjadi tantangan besar. “Terutama terkait regulasi penanggulangan bencana dan adaptasi perubahan iklim yang belum selaras, sehingga berdampak pada sulitnya pembahasan, perencanaan, hingga pembiayaan yang terintegrasi,” tandasnya.
Devyta Wijaya dari Amvesindo mengungkapkan, di luar pemerintah, peluang pendanaan untuk penanggulangan bencana sebenarnya masih sangat besar. “Di Indonesia selama ini yang kami danai masih berkisar di soal daur ulang sampah, hingga pengukuran kualitas udara. Peluang sangat besar jika para pengembang ini bisa memaksimalkan climate risk intelligence yang berbasis AI. Memang di sini solusi inovatif berbasis teknologi belum banyak peminat, baik yang mengembangkan maupun investornya,” terangnya.
Terkait dengan ketangguhan komunitas rentan, Evi Sulistyowati dari BRI mengatakan bahwa BRI kini tidak lagi fokus pada nilai ekonomi UMKM melainkan lebih pada nilai sosialnya. Oleh karena itu, aspek pemberdayaan tetap menjadi fokus untuk mendorong pelaku UMKM segera pulih pascabencana. Ini karena hasil riset menunjukkan bahwa banyak kegiatan pemberdayaan yang tidak berkelanjutan sehingga tidak berdampak pada ketangguhan pelaku UMKM.
Adapun Senior Financial Sector Specialist, Team Leader Finance, Competitivenes and Innovation World Bank Indonesia Dara Lengkong menyoroti soal prioritas pendanaan dalam penanggulangan bencana. Ada dana yang dibutuhkan cepat, ada yang untuk pemulihan jangka panjang. Tidak ada solusi tunggal yang bisa diterapkan di semua negara. Itu sebabnya, Bank Dunia memfasilitasi upaya transfer risiko kepada pihak ketiga, dalam hal ini perusahaan asuransi swasta, berupa risk pooling yang berbasis regional, seperti Karibia, Afrika, dan Kepulauan Pasifik. Kolaborasi dengan pikah swasta semacam ini bisa menjadi salah satu solusi pendanaan untuk resiliensi berkelanjutan.

Program SIAP SIAGA adalah Kemitraan Australia-Indonesia yang bertujuan untuk menguatkan ketangguhan bencana di Indonesia dan Kawasan Indo-Pasifik
HUBUNGI KAMI
Kami akan senang mendengar dari Anda.
Jangan ragu untuk menghubungi menggunakan detail di bawah ini.
Alamat:
SIAP SIAGA
Treasury Tower 59th Floor, District 8 SCBD Lot 28, Jl. Jend. Sudirman Kav 52 – 53
Jakarta Selatan, 12190, Indonesia
Telepon: +6221 7206616
Email: siap.siaga@thepalladiumgroup.com