BNPB Deklarasikan Komitmen Pengarusutamaan Gender dalam Penanggulangan Bencana


Seusai penandatanganan lembar komitmen, Kepala Biro Perencanaan BNPB Andi Eviana mengatakan bahwa dengan adanya komitmen pengarusutamaan gender itu, upaya penanggulangan bencana ke depan, baik yang dilaksanakan BPNB maupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), diharapkan dapat lebih memperhatikan aspek gender. Hal ini sangat penting mengingat kerentanan perempuan dan anak dalam bencana sangatlah tinggi, termasuk kerentanan terhadap kekerasan berbasis gender.

“Kami sangat berharap pengarusutamaan gender diperhatikan dan dilaksanakan. Kita tidak berharap ada bencana, tetapi pada saat ada bencana maka kita sebagai lembaga garda terdepan ini sudah mempunyai wawasan, sudah mengetahui terkait dengan apa yang harus kita tindak lanjuti di lapangan,” katanya.

Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) mendeklarasikan komitmennya terhadap pengarusutamaan gender dengan menandatangani “Lembar Komitmen Penangarusutamaan Gender di Lingkungan BNPB”. Lembar komitmen tersebut ditandatangani oleh seluruh pejabat eselon II BNPB pada 11 Oktober 2023 lalu dalam acara Bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Nasional 2023 di Kendari, Sulawesi Tenggara.

Ada tiga poin penting yang disebutkan dalam lembar komitmen tersebut, yakni kesiapan BNPB untuk mendukung pelaksanaan pengarusutamaan gender di lingkungan BNPB, kesiapan BNPB untuk menerapkan dan mengintegrasikan pengarusutamaan gender dalam program di masing-masing unit kerja BNPB, serta kesiapan BNPB untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan pengarusutamaan gender dalam program-program yang dijalankan.

85 a. Foto 1 alt

Seusai penandatanganan lembar komitmen, Kepala Biro Perencanaan BNPB Andi Eviana mengatakan bahwa dengan adanya komitmen pengarusutamaan gender itu, upaya penanggulangan bencana ke depan, baik yang dilaksanakan BPNB maupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), diharapkan dapat lebih memperhatikan aspek gender. Hal ini sangat penting mengingat kerentanan perempuan dan anak dalam bencana sangatlah tinggi, termasuk kerentanan terhadap kekerasan berbasis gender. “Kami sangat berharap pengarusutamaan gender diperhatikan dan dilaksanakan. Kita tidak berharap ada bencana, tetapi pada saat ada bencana maka kita sebagai lembaga garda terdepan ini sudah mempunyai wawasan, sudah mengetahui terkait dengan apa yang harus kita tindak lanjuti di lapangan,” katanya.

Penandatanganan lembar komitmen tersebut dilakukan sebagai bagian dari kegiatan “Advokasi Pengarusutamaan Gender dalam Penanggulangan Bencana” yang diadakan sebagai salah satu rangkaian acara peringatan Bulan PRB Nasional 2023 yang didukung oleh Program SIAP SIAGA. Deklarasi tersebut menunjukan komitmen Pemerintah Indonesia untuk terus mendorong partisipasi perempuan dalam upaya pengurangan risiko bencana, baik sebelum, saat, maupun pascabencana yang menjamin pemenuhan kebutuhan khusus dari kelompok rentan, khususnya perempuan dan anak perempuan.

85 b. Foto 2 alt

Dalam sambutannya untuk acara tersebut, Counsellor Development Effectiveness and Humanitarian Kedutaan Besar Australia, Simon Ernst, menyampaikan pengarusutamaan gender sangat penting dan relevan dalam pengurangan risiko bencana, mitigasi bencana, dan penanganan krisis kemanusiaan. “Pemerintah Australia melalui Kemitraan Australia-Indonesia untuk Manajemen Risiko Bencana atau Program SIAP SIAGA berkomitmen penuh untuk terus mendukung inisiatif dan upaya pemerintah Indonesia dalam pengarusutamaan gender,” terangnya.

Asisten I Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Suharno mewakili Sekda Sulteng menjelaskan bahwa pengarusutamaan gender telah digaungkan oleh pemerintah provinsi guna mendorong kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam berpartisipasi dan mendapat manfaat dari pembangunan. Intervensi pemerintah dalam pengarusutamaan gender dilakukan melalui program maupun penerbitan aturan dan kebijakan guna mengurangi kesenjangan. Dalam kaitannya dengan risiko bencana dan perubahan iklim, Suharno mengatakan bahwa di Provinsi Sulawesi Tenggara terdapat sejumlah daerah yang sedang berstatus waspada dan awas. Untuk itu, kontribusi dan partisipasi semua pihak termasuk perempuan untuk mengurangi risiko dan memperkuat mitigasi bencana yang inklusif sangatlah diperlukan.

Temu wicara

Kegiatan “Advokasi Pengarusutamaan Gender dalam Penanggulangan Bencana” tersebut juga diisi dengan temu wicara yang membahas peran penting sekaligus kondisi perempuan saat ini dalam penanggulangan bencana. Temu wicara ini menghadirkan tiga pembicara, yakni Eko Novi Aryanti, Plt Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Ekonomi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Melissa Fernandez dari kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN OCHA), dan Ayu Saraswati, Putri Indonesia Lingkungan 2020, dengan dipandu Budi Wahyuni selaku moderator.

Melissa Fernandez mengatakan, risiko yang dihadapi oleh perempuan, anak perempuan, laki-laki, maupun anak laki-laki tidaklah sama. Respons masing-masing terhadap risiko bencana yang ada pun berbeda. Itulah mengapa aspek gender harus dibicarakan dalam upaya penggurangan risiko bencana. “Bagi banyak pihak, bicara gender dalam konteks bencana adalah bicara soal hidup dan mati,” katanya.

Menurut dia, ada banyak kajian yang menyimpulkan bahwa dalam konteks bencana dan perubahan iklim, perempuan menghadapi risiko yang lebih tinggi karena peran-peran tradisional yang diampunya selama ini. Akibat dampak perubahan iklim, misalnya, perempuan harus berjalan semakin jauh untuk mendapatkan air bersih bagi keluarga. Ketika level air laut naik dan penduduk kehilangan rumah, perempuan menjadi lebih rentan mengalami kekerasan seksual. Perempuan dari keluarga miskin, termasuk para janda, kesulitan membeli kebutuhan dasar seperti air dan makanan, serta kesulitan mengakses bantuan untuk membangun rumah kembali. Dalamposisi tersebut, penyintas bencana perempuan menjadi rentan untuk dieksploitasi secara seksual.

Selain itu, di banyak negara anggota ASEAN, perempuan dan remaja perempuan memiliki akses yang lebih rendah terhadap pelatihan kesiapsiagaan dan simulasi tanggap darurat. Akibatnya, ketika terjadi bencana, jumlah korban di kalangan perempuan dan remaja perempuan lebih tinggi. Hasil kajian di Indonesia, Filipina, Thailand dan Malaysia juga menyimpulkan bahwa kurangnya partisipasi perempuan dalam upaya pengurangan risiko bencana membuat perempuan kesulitan mengakses kebutuhan untuk higienitas dan kesehatan perempuan, termasuk bagi perempuan hamil dan menyusui. Hasil-hasil kajian itu menunjukkan pentingnya pelibatan perempuan dalam semua tahapan penanggulangan bencana.

Terkait dengan kekerasan terhadap perempuan, Ayu Saraswati juga menitikberatkan bahwa selama ini kekerasan berbasis gender (KBG) rentan dialami perempuan serta anak perempuan. Dalam keadaan normal saja, KBG terjadi secara signifikan. Ia mengutip salah satu sumber yang menyebut data terkait KBG, yakni bahwa satu dari empat perempuan di Indonesia pernah mengalami KBG. “Dalam situasi bencana, perempuan dan anak perempuan yang pada dasarnya sudah rentan akan menjadi semakin rentan,” katanya.

Selain kesulitan mengakses kebutuhan dasar seperti makanan dan air, perempuan hamil, menyusui, melahirkan, ataupun memiliki bayi sering kali harus berhadapan dengan kondisi sanitasi yang buruk. Kesulitan perempuan dalam mengakses kebutuhan spesifik dalam situasi bencana itu menurutnya terjadi karena selama ini pendekatan yang dilakukan adalah asumsi terkait kebutuhan perempuan dan anak. Untuk itu, pelibatan perempuan dalam perencanaan penanggulangan bencana harus benar-benar dilakukan agar perempuan dapat menyuarakan sendiri apa yang menjadi kebutuhan mereka.

85 c. Foto 5

Menurut Eko Novi Ariyanti, pengarusutamaan gender dalam penanggulangan bencana sudah menjadi amanat internasional dan menjadi rekomendasi umum, antara lain seperti yang sudah disebutkan dalam Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana (2016-2030), juga dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Di Indonesia juga sudah ada dasar hukum bagi pengarusutamaan gender di berbagai sektor terkait penanganan bencana, misalnya dalam Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, serta dalam Peraturan Kepala BNPB nomor 13 tahun 2014 tentang pengarusutamaan gender di bidang penanggulangan bencana. Perka BNPB tersebut secara eksplisit menyebut bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana yang responsif gender perlu dilaksanakan untuk memastikan pemenuhan hak dan kebutuhan laki-laki dan perempuan secara adil dan manusiawi.

Menurut dia, Kementerian PPPA sebagai pengampu untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak mempunyai kewajiban untuk mengintegrasikan isu gender itu melalui pengarusutamaan gender ke seluruh stakeholder, tidak hanya pemerintah tapi seluruh stakeholder terkait. Implementasi pengarusutamaan gender sangatlah penting supaya berbagai persoalan seperti yang disebutkan Melissa Fernandez dan Ayu Saraswati bisa diantisipasi. “BNPB menjadi leading sector dalam upaya-upaya terkait kebencanaan,” katanya.

logo siapsiaga white

Kami akan senang mendengar dari Anda.
Jangan ragu untuk menghubungi menggunakan detail di bawah ini.

Alamat:
SIAP SIAGA
Treasury Tower 59th Floor, District 8 SCBD Lot 28, Jl. Jend. Sudirman Kav 52 – 53
Jakarta Selatan, 12190, Indonesia
Telepon: +6221 7206616
Email: siap.siaga@thepalladiumgroup.com