Siap Siaga

Keterlibatan Bermakna Penyandang Disabilitas untuk Penanggulangan Bencana yang Inklusif

Gempa bumi dahsyat bermagnitudo 7 yang mengguncang Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat pada 5 Agustus 2018 lalu berdampak panjang bagi para penyandang disabilitas di wilayah itu. Usai bencana yang membuat lebih dari 500 orang meninggal itu terjadi, para penyandang disabilitas yang terdampak tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa. Tak ingin hal serupa terulang, pelan-pelan kini mereka mulai terlibat dalam kegiatan penanggulangan bencana.

“Jangankan bantuan khusus yang sesuai dengan keadaan disabilitas kami, untuk mengakses bantuan hidup saja sulit. Apalagi data penyandang disabilitas antarinstansi memang belum sama ,” kata Sri Sukarni, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), saat mengingat kembali kejadian gempa bumi 2018.

Harapan akan adanya perbaikan situasi mulai muncul ketika ASB, sebuah lembaga nonpemerintah, melibatkan HWDI NTB dalam pendataan kaji cepat (rapid assessment) terhadap korban terdampak yang merupakan penyandang disabilitas. Meskipun kegiatannya terbilang singkat, itulah saat HWDI NTB mulai terhubung dengan pihak pemerintah maupun nonpemerintah yang sebenarnya dapat membantu mereka. Kemudian, keberadaan Program SIAP SIAGA di NTB sejak tahun 2021 menjadi kesempatan kedua bagi HWDI NTB untuk keterlibatan yang lebih intensif sejak awal program.

“Kami menyebutnya sebagai keterlibatan bermakna, karena HWDI NTB benar-benar dilibatkan secara mendalam hingga ke proses pengambilan keputusan. Pendapat berupa usulan dan masukan dari kami benar-benar diperhatikan. Kami diberi ruang peran yang cukup signifikan,” lanjut Sri.

Sri ingat, pertemuan multipihak pertama di mana dia terlibat adalah penyusunan Kajian Risiko Bencana (KRB) dan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) di Kabupaten Lombok Utara pada 2022. Saat itulah dia kembali bertemu dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lombok Utara dan Provinsi NTB. Momen itu dia gunakan untuk mengungkapkan pentingnya mengintegrasikan isu inklusi disabilitas dalam penanggulangan bencana, berkaca pada kejadian gempa bumi 2018. Integrasi tersebut baru bisa terwujud jika pemerintah menjamin adanya keterlibatan yang bermakna bagi para penyandang disabilitas.

Menguatkan jaringan

Pertemuan di Lombok Utara itulah yang menjadi titik awal HWDI NTB untuk menjadi bagian yang berarti dari upaya penanggulangan bencana. Mereka berkesempatan mengampanyekan dan mendorong isu inklusi disabilitas agar lebih diintegrasikan dalam rencana-rencana pembangunan, utamanya soal kebencanaan. Sebaliknya, mereka juga belajar tentang kebencanaan dan proses-proses strategis seperti peninjauan mengajak organisasi penyandang disabilitas lain yang ada di Provinsi NTB untuk terlibat, kebijakan. Mereka juga seperti Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin), Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), dan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) guna memperkaya perspektif disabilitas agar lebih tajam dan spesifik.

“Tidak mudah bagi organisasi penyandang disabilitas, apalagi perempuan penyandang disabilitas, untuk membangun relasi dengan lembaga lain. Sebab dua isu utama yang kami perjuangkan, yakni perempuan dan disabilitas, bukan termasuk hal yang biasanya mendapat perhatian khusus. Contohnya, lebih mudah mencari data kemiskinan di desa-desa daripada data pilah disabilitasnya apa, kebutuhannya apa dan sebagainya. Jadi begitu ada kesempatan berjejaring, harus dimanfaatkan dengan baik,” ujarnya.

Namun, lanjut Sri, proses berjejaring tersebut tidak langsung berjalan lancar. Beberapa penyandang disabilitas mengkhawatirkan pelibatan organisasi mereka tak lebih sekadar tempelan dan akan dimanfaatkan untuk kepentingan proyek semata. Seiring berjalannya waktu, kepercayaan telah terbangun melalui keterlibatan bermakna yang kali ini benar-benar ada. Hal ini tak lepas dari tidak berhentinya peran penting organisasi penyandang disabilitas dalam aktivitas penanggulangan bencana di Provinsi NTB.

Setelah belajar dan terlibat dalam proses penyusunan KRB dan RPB Kabupaten Lombok Utara, HWDI NTB terlibat dalam proses Participatory Capacity and Vulnerability Assessment (PCVA) Program Pulih Bersama yang dilakukan oleh KONSEPSI dan Mitra Samya dan dilaksanakan di empat desa dampingan. HWDI NTB, yang kini beranggotakan sekitar 300 orang itu, berperan memberikan sosialisasi kepada kelompok rentan di desa dampingan.

Menurut Deni Aulia, Program Policy Officer SIAP SIAGA, Program SIAP SIAGA telah mendorong pengarusutamaan GEDSI dalam penanggulangan bencana di NTB sejak pertengahan tahun 2022. Fokus utama saat itu adalah memfasilitasi pengaktifan kembali Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (Pokja PUG) NTB agar semakin giat dan efektif mendampingi Organisasi Perangkat Daerah (OPD), termasuk BPBD, dalam membuat perencanaan dan penganggaran yang responsif gender. Pokja tersebut dipimpin oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi NTB dan dikoordinasikan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB.

“Baru menjelang akhir 2022 kami menganalisis perkembangan yang ada dan menyadari bahwa keterlibatan penyandang disabilitas belum optimal sehingga kami mengubah strategi. Kami melihat bahwa inklusi disabilitas dapat menjadi pintu masuk bagi elemen GEDSI yaitu gender dan disabilitas, melalui kolaborasi dengan organisasi penyandang disabilitas dalam strategi pengelolaan risiko bencana,” kata Deni.

Keterlibatan penyandang disabilitas dalam program secara intensif dimulai pada tahun 2023, dengan target yang realistis yaitu dukungan teknis melalui pertemuan reguler multipihak. Namun, prosesnya ternyata berkembang lebih maju. Pertemuan rutin tersebut justru menjadi kesempatan bagi pihak-pihak yang hadir untuk membangun pemahaman dan memetakan kebutuhan, kapasitas, serta potensi kontribusi masing-masing pihak.

Melalui proses pertemuan reguler tersebut, munculah inisiasi untuk melakukan kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Pengarusutamaan Penanggulangan Bencana Inklusif. Bimtek tersebut menjadi peluang baik bagi OPD maupun organisiasi penyandang disabilitas dalam meningkatkan pemahaman, pengetahuan, dan kapasitas tentang pentingnya inklusivitas (pengarusutamaan GEDSI) dalam upaya penanggulangan bencana, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi kegiatan.

“Mereka diharapkan dapat merencanakan dan merumuskan hal yang lebih strategis, yang dimulai dari proses di konteks kebencanaan ini. Selama proses tersebut mereka berjejaring, memberikan input bermakna, dan mengikuti bimbingan teknis. Saat ini mereka juga sudah menjadi bagian dari Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Provinsi NTB dan diharapkan dapat memberikan perspektif inklusi dalam program-program kerja FPRB,” jelasnya.

Menuju pelembagaan

Keterlibatan bermakna dari penyandang disabilitas, menurut Deni, telah difasilitasi oleh Program SIAP SIAGA yang menjadi katalis dengan mempromosikan dan mendukung penyelenggaraan PB inklusif melalui metode yang partisipatif dan konsultatif. Kondisi tersebut juga memberikan peluang bagi semua organisasi penyandang disabilitas untuk menguatkan kemitraan antarorganisasi, termasuk dengan para pemangku kepentingan lainnya.

Perjalanan menuju realisasi penanggulangan bencana di NTB yang sepenuhnya mengintegrasikan prinsip kesetaraan GEDSI memang masih terus bergulir. Namun, peningkatan pemahaman dari beberapa pemangku kepentingan terutama OPD terkait telah tampak. Perubahan tersebut misalnya bisa dilihat dalam perencanaan kegiatan, aspek aksesibilitas bagi penyandang disabilitas telah dipertimbangkan dengan baik.

“Sebelumnya isu inklusi disabilitas belum sepenuhnya dipahami, misalnya tentang kebutuhan dan bagaimana cara atau metode pelibatan yang efektif dalam kegiatan-kegiatan strategis sehingga penyandang disabilitas memiliki rasa ownership dalam setiap proses dan hasilnya. Perubahan ini sebenarnya mencerminkan sudah adanya pemahaman tentang kebutuhan disabilitas. Proses ini dapat menjadi dasar yang kuat untuk melangkah ke tahap selanjutnya yaitu pelembagaan penanggulangan bencana yang inklusif,” ujar Deni.

Pasca-Bimtek Pengarusutamaan Penanggulangan Bencana inklusif, terdapat berbagai rencana tindak lanjut yang telah disepakati bersama, salah satunya adalah pentingnya melembagakan isu penanggulangan bencana inklusif di dalam BPBD. Pelembagaan tersebut salah satunya dapat melalui pembentukan Unit Layanan Disabilitas (ULD) yang prosesnya direncanakan dimulai pada awal tahun 2024. Saat ini, organisasi penyandang disabilitas telah menginisiasi dan menyepakati kegiatan apa saja yang dibutuhkan agar proses pembentukan ULD dapat berjalan dengan efektif dan inklusif.