Siap Siaga

Mendorong Penyandang Disabilitas Menjadi Agen Perubahan Penanggulangan Bencana

Partisipasi dari kelompok penyandang disabilitas dalam penyusunan kebijakan penanggulangan bencana sangat krusial guna menjamin hadirnya kebijakan penanggulangan bencana yang inklusif. Pelibatan kelompok penyandang diabilitas adalah kunci untuk penguatan manajemen bencana dan untuk membangun kerja sama. Ketua Unit Layanan Disabilitas (ULD) Badan Penanggulangan Bencana Daerah Nusa Tenggara Timur (BPBD NTT) Desderdea Kanni atau yang biasa dipanggil Desi menuturkan, setelah ULD BPBD dibentuk pada 2021, ia sebagai ketua sempat merasa bingung terkait kontribusi seperti apa yang bisa ULD berikan terhadap upaya penanggulangan bencana. Tujuan pembentukan ULD adalah untuk membatu BPBD dalam mendorong kebijakan penanggulangan bencana yang inklusif. Namun, Desi dan tim merasa kurang percaya diri untuk terlibat dalam agenda-agenda BPBD. “Ruang sudah ada, struktur juga sudah, lalu apa yang bisa kita buat,” katanya.

Ketika terhubung dengan Program SIAP SIAGA pada 2022, Desi tak mau membuang kesempatan. Ia meminta dukungan untuk bisa meningkatkan kapasitas tim. Dari situ, ia dan tim mulai berjejaring dengan para pemangku kepentingan penanggulangan bencana seperti Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) NTT, maupun lembaga non pemerintah lainnya yang fokus pada isu kebencanaan. Kepedulian berbagai pihak terhadap penyandang disabilitas membuat ia dan rekan-rekan penyandang disabilitas lainnya untuk menjadi semakin berani terlibat dalam proses penyusunan kebijakan. “Kami minta masukan dari semuanya supaya menguatkan kapasitas kami, supaya struktur kami di BPBD tidak hanya pajangan, tapi benar-benar bermanfaat,” tambahnya.

Salah satu hasil dari diskusi dengan berbagai pihak itu adalah perlunya keterlibatan tim ULD dalam penyusunan Daftar Tilik Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI), yakni dokumen berisikan elemen-elemen GEDSI yang bisa digunakan untuk meninjau dokumen-dokumen yang terkait dengan perencanaan penanggulangan bencana. Menurut Desi, daftar tilik GEDSI itu dibutuhkan karena di NTT belum ada pemetaan kebutuhan bagi para penyandang disabilitas sehingga kebutuhan mereka tidak diketahui. Daftar tilik yang disusun dengan masukan dari penyandang disabilitas di NTT itu bisa menjadi acuan bagi pemerintah maupun lembaga non pemerintah yang menyediakan layanan berperspektif GEDSI dalam konteks penanggulangan bencana, baik sebelum, saat, maupun setelah bencana.

Desi selaku perwakilan dari ULD NTT pun terlibat aktif dalam forum-forum penyusunan draft Daftar Tilik GEDSI yang dipimpin oleh BPBD NTT dengan dukungan dari Program SIAP SIAGA. Keterlibatannya bersama organisasi penyandang disabilitas lainnya seperti Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni), Gerakan Transformasi Disabilitas untuk Inklusi (GARAMIN), dan Komunitas Tuli Kupang (KTK), penting untuk memastikan bahwa daftar tilik tersebut komprehensif dalam memahami kebutuhan penyandang disabilitas dan bantuan yang diperlukan saat terjadi bencana maupun menyediakan akses terhadap informasi di semua tahapan bencana. Ia menekankan bahwa kebutuhan penyandang disabilitas bisa berbeda-beda, tergantung kondisinya, sehingga perlu direspons dengan cara yang berbeda pula. Terkait dengan peringatan dini bencana (early warning), misalnya, penyandang disabilitas netra akan membutuhkan rekaman audio, sementara penyandang disabilitas tuli membutuhkan informasi yang dikemas dalam bentuk gambar hidup. “Semua itu sudah ada panduannya,” ucapnya.

Berdasarkan data yang diterima ULD dari Dinas Sosial Provinsi NTT, saat ini setidaknya ada 8.000 penyandang disabilitas yang sudah terverifikasi di NTT. Mereka tersebar di 22 kabupaten/kota. Namun, Desi meyakini bahwa jumlah seluruh penyandang disabilitas di NTT melebihi angka itu karena data dari Dinsos umumnya berisi data penyandang disabilitas fisik yang relatif lebih mudah untuk diverifikasi. Data terkait penyandang disabilitas intelektual, misalnya, masih sulit untuk dilacak.

Para penyandang disabilitas di NTT harus berhadapan dengan potensi dari berbagai jenis bencana, mulai dari gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir, kekeringan, hingga erupsi gunung api. Semua potensi bencana itu membuat kondisi penyandang disabilitas menjadi semakin rentan. “Dampak kekeringan itu bisa menimbulkan masalah kesehatan bagi penyandang disabilitas karena kekurangan air, juga dampak perekonomian” tambah Desi.

Dengan adanya Daftar Tilik GEDSI, lanjut Desi, ke depan kebijakan maupun program penanggulangan bencana di NTT akan bisa lebih memperhatikan kebutuhan khusus dari kelompok penyandang disabilitas. Ia berharap Daftar Tilik GEDSI tersebut nantinya tidak hanya diimplementasikan di level provinsi, namun juga ke 22 kabupaten/kota di NTT, sehingga bisa benar-benar bermanfaat bagi seluruh penyandang disabilitas di NTT.

Perlindungan

Analis Penanggulangan Krisis BPBD NTT Veronica Johannis mengatakan, proses penyunan Daftar Tilik GEDSI di NTT telah berjalan dengan baik dan lancar dengan melibatkan penyandang disabilitas serta lembaga-lembaga non pemerintah di NTT yang fokus pada GEDSI. Daftar Tilik GEDSI tersebut saat ini tengah digunakan untuk meninjau ulang tiga dokumen kebencanaan di NTT, yakni dokumen rencana penanggulangan bencana, dokumen rencana kontingensi, serta dokumen penanggulangan kedaruratan bencana. “Saat ini prosesnya sedang berjalan,” ucapnya.

Dalam proses penyusunan Daftar Tilik GEDSI, lanjut Vero, kerangka kerja empat unsur utama implementasi GEDSI, yakni akses, partisipasi, kontrol dan manfaat dirasa tidak mencukupi sehingga disepakati untuk menambah kata “perlindungan”. “Karena ketika terjadi bencana dan tanggap darurat, kelompok rentan perlu perlidungan khusus sehingga hak-haknya bisa terlindungi,” tambahnya.

Menurut dia, salah satu kendala dalam penyusunan Daftar Tilik GEDSI adalah memastikan ada tatap muka yang intens secara berkala dengan melibatkan para pemangku kepentingan. Hal itu tidak lepas dari keterbatasan anggaran. Dukungan dari Program SIAP SIAGA membuat kendala tatap muka itu bisa diatasi.

Kedepannya BPBD NTT berencana akan mengadakan konsultasi publik guna mensosialisasikan Daftar Tilik GEDSI. Proses ini diharapkan bisa menjangkau Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) dari 22 kabupaten/kota di NTT. Vero menjelaskan bahwa Daftar Tilik GEDSI itu juga diharapkan bisa digunakan oleh pemerintah desa mengingat saat ini banyak desa di NTT yang sedang dibentuk menjadi Desa Tangguh Bencana (Destana) Inklusif. “Kami dari provinsi harus dorong itu karena yang punya wilayah itu kota, kabupaten, dan desa. Demikian juga dengan anggarannya,” jelasnya.

Vero menambahkan, upaya mendorong isu disabilitas di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Penyusunan Daftar Tilik GEDSI merupakan langkah awal yang baik. Selama ini, banyak orang maupun lembaga yang telah lebih dulu fokus ke isu gender. Untuk itu, salah satu pekerjaan rumah yang harus dikerjakan adalah bagaimana memastikan agar seluruh unsur penanggulangan bencana mulai dari pemerintah, komunitas warga, dunia bisnis, perguruan tinggi, dan media massa bisa memahami mengapa GEDSI sangat penting. “Yang penting memang membangun mindset dulu. Kemarin orang kenal Gender, tetapi belum memahami soal disabilitas dan inklusi,” ujarnya.