Adopsi teknologi digital untuk pengurangan risiko bencana (PRB), perubahan iklim, dan pencapaian tujuan pembangunan lainnya sangatlah penting. “Informasi dan transformasi diharapkan dapat membentuk resiliensi berkelanjutan yang terus dilakukan hingga menjadi lebih baik”.
Diskusi ini menjadi langkah menuju perhelatan The Global Forum For Sustainable Resilience 2024 yang akan fokus pada resiliensi berkelanjutan terkait pembelajaran 20 tahun tsunami di Samudera Hindia. Beberapa prinsip resiliensi berkelanjutan adalah satu kesatuan yang utuh, platform bersama, dan sinergi antarpihak.
Pengembangan teknologi kebencanaan yang berpusat pada manusia saat ini semakin diperlukan guna mengoptimalkan upaya memprediksi dan merespons bencana, maupun mendorong ketangguhan masyarakat. Untuk itu, perlu ada sinergi antara berbagai pihak yang telah mengembangkan berbagai teknologi kebencanaan di Indonesia.
Upaya mendorong sinergi tersebut antara lain dilakukan melalui seminar bertajuk “Transformasi, Inovasi dan Konvergensi Digital untuk Resiliensi” yang digelar di Hotel Alana Bogor, Jawa Barat, pada 11 – 12 Juni 2024. Dalam diskusi tersebut, Deputi Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati memberi sambutan pembuka, dengan narasumber kunci Direktur Evaluasi Kebijakan Riset dan Inovasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dudi Iskandar, dan Kepala Pusat Instrumentasi, Kalibrasi dan Rekayasa, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Hanif Andi Nugraha.
Adapun para panelis diskusi hari pertama yang diberi tema “Integrasi Sistem untuk Resiliensi Holistik” antara lain Analis Kebencanaan Ahli Madya BNPB Linda Lestari; Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN Rusli Cahyadi; Kepala Sub Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nuraeni; Data Innovation and Policy Lead UN Global Pulse Faisal Thamrin; dan Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Taufiq Hidayat Putra.
Pada hari kedua, diskusi panel sesi pertama berjudul “Resiliensi Berbasis Kecerdasan Buatan” diisi oleh Agus Budi Santoso selaku perwakilan dari Balai Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi; Dosen Teknik Geodesi, Fakultas Teknik UGM Ruli Andaru; dan Hendy Risdianto selaku perwakilan Indonesia Artificial Intelligence Society (IAIS). Sedangkan diskusi panel sesi kedua yang bertema “Sistem Pendukung Keputusan untuk Kebijakan yang Tangguh dan Berkelanjutan” menghadirkan panelis Kepala Pusat Data & Informasi, Badan Pengembangan dan Informasi Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Theresia Junidar; Kepala Dinas Kominfotik Provinsi Nusa Tenggara Barat Najamuddin Amy; dan Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB Udrekh.
Menurut Team Leader SIAP SIAGA Lucy Dickinson, adopsi teknologi digital untuk pengurangan risiko bencana (PRB), perubahan iklim, dan pencapaian tujuan pembangunan lainnya sangatlah penting. “Informasi dan transformasi diharapkan dapat membentuk resiliensi berkelanjutan yang terus dilakukan hingga menjadi lebih baik,” katanya.
Catherine Meehan, perwakilan Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia, menambahkan bahwa pemanfaatan teknologi bisa menyelamatkan nyawa manusia, melindungi mata pencaharian, dan membangun komunitas yang lebih kuat dan tangguh. “Solusi inovatif seperti kecerdasan buatan, big data, dan internet of things, dapat secara signifikan meningkatkan kemampuan kita untuk memprediksi, mempersiapkan, dan merespons bencana,” ujarnya.
Raditya Jati mengungkapkan, sains dan teknologi adalah satu dari lima elemen kunci yang berfungsi sebagai pilar utama resiliensi berkelanjutan. Empat elemen lainnya adalah tata kelola, investasi, infrastruktur, dan masyarakat. “Titik sentralnya adalah di masyarakat. Bukan teknologi kalau tidak termanfaatkan oleh masyarakat,” katanya.
According to Raditya, this discussion is a step towards The Global Forum For Sustainable Resilience 2024 event, which will focus on sustainable resilience related to learning about 20 years of tsunami in the Indian Ocean. Some of the principles of sustainable resilience are one whole unity, a shared or common platform, and synergy between parties. “So, do we need to create a new shared platform? Or are the existing ones enough and let us emphasise the principle of used and useful? That is something we also need to continue to discuss together,” he added.
Perlu Komunikasi
Terkait sinergi, Dudi Iskandar mengakui bahwa meskipun sudah banyak inovasi terkait kebencanaan yang dilakukan BRIN, baru sekarang ada kesempatan berkomunikasi dengan BNPB dan pemangku kepentingan kebencanaan lain guna menyampaikan inovasi-inovasi tersebut. Padahal, banyak yang sudah dilakukan di BRIN, seperti riset sumber dan bahaya bencana, pengembangan teknologi peringatan dini, pengembangan teknologi gunung api, pemetaan cepat dampak bencana, hingga pengembangan Artificial Intelligence (AI) untuk simulasi lingkungan dan bencana.
Memang, lanjut Dudi, ada Forum Komunikasi Riset Ilmiah yang dilakukan rutin setiap bulan. Namun, forum itu baru melibatkan kementerian/lembaga. “Faktor komunikasi dan koordinasi ini yang akan menjadi fokus ke depan di ranah kebencanaan, agar inovasi yang sudah ada bisa dimanfaatkan, dan juga sebaliknya kebutuhan riset dan inovasi dapat disampaikan pada kami. Masih banyak peluang kolaborasi, seperti pengembangan AI dan big data untuk mengelola bencana dan memprediksi lebih efektif,” ujarnya.
Kebutuhan kolaborasi juga disampaikan Hanif Andi Nugraha. Menurutnya, kewenangan BMKG saat ini lebih ke sistem peringatan dini (early warning system). BMKG telah mengembangkan berabgai inovasi dan rekayasa teknologi untuk memenuhi kewenangan tersebut. Dengan batasan kewenangan tersebut, BMKG perlu berkolaborasi dengan pihak lain agar sistem peringatan dini bisa berujung pada aksi dini (early action).
Hanif mencontohkan rujukan dalam menentukan status kebencanaan. Selama ini. BMKG menggunakan istilah yang diterapkan di IOC (Indian Ocean Climate) yang menjadi rujukan internal dalam pemantauan iklim di Samudera Hindia. “Jadi jika akan dikeluarkan ke publik, butuh penyamaan persepsi agar mudah diterima publik. Itulah nanti yang bisa didiskusikan dengan BNPB agar bisa membantu adanya early action di masyarakat,” tuturnya.
Integrasi Sistem
Selain sinergi, hal lain yang tak kalah penting adalah integrasi. Saat ini, ada beragam sistem terkait kebencanaan yang sebenarnya secara muatan dan alur data memiliki kemiripan.
Menurut Linda, selain mengelola InaRISK yang merupakan portal hasil kajian risiko bencana, BNPB juga memiliki Katalog Kesiapsiagaan. Katalog ini berisi kumpulan praktik pengelolaan maupun pengurangan risiko berbasis komunitas serta pengembangan ketangguhan masyarakat desa di Indonesia. “Di dalamnya ada dokumen kesiapsiagaan hingga pengurangan risiko bencana berbasis komunitas, termasuk di dalamnya Penilaian Ketangguhan Desa,” jelas Linda.
Menanggapi keterangan Linda, Nuraeni menjelaskan bahwa pada Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga terdapat penilaian terhadap desa. Meski demikian, ada perbedaan bila disandingkan dengan Katalog Kesiapsiagaan. “SIDIK juga tidak hanya tentang yang sudah lewat, tapi juga proyeksi,” kata Nuraeni.
Menurut Rusli Cahyadi, integrasi sistem yang serupa memerlukan dua diskusi pada dua level. Pertama adalah level antarlembaga guna memastikan agar integrasi sistem bisa berfungsi bagi pemenuhan tugas dan fungsi masing-masing lembaga. Kedua, level masyarakat guna memastikan fungsi dari integrasi sistem tersebut bagi masyarakat. “Yang dibahas di seminar ini lebih banyak yang level pertama. Tantangan terbesarnya sebenarnya pada level masyarakat,” katanya.
Diakui oleh Taufiq Hidayat, idealnya integrasi data tidak memberatkan masyarakat. Untuk itu, perencanaan menjadi kunci, sehingga sejak awal dapat dirumuskan data apa saja yang diambil dan bagaimana caranya.
Terkait integrasi sistem dan data, Najamudin menuturkan bahwa upaya tersebut telah dilakukan di Provinsi NTB. Salah satunya melalui Program Satu Data yang merupakan program unggulan Pemprov NTB. Melalui Program Satu Data, tidak ada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Pemprov NTB yang diperbolehkan membuat aplikasi sendiri. Semua aplikasi harus berasal dari Dinas Kominfo, Statistika, dan Persandian.
Kecerdasan Buatan
Rangkaian seminar dua hari ini juga membahas berbagai inovasi teknologi kebencanaan dengan memanfaatkan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI). Satu hal yang menjadi pokok diakusi adalah bahwa kecangihan teknologi terbaru dalam konteks kebencanaan harus tetap berpusat pada manusia. Hal itu pun berlaku pada pengembangan teknologi kebencanaan berbasis AI. Menurut Ruli Andaru, pengembangan AI harus dilakukan secara bijak agar manfaatnya bagi manusia bisa dimaksimalkan.
Agus Budi Santoso mengatakan, jika semua prasyarat ideal terpenuhi, AI akan dapat memaksimalkan upaya mitigasi bencana di Indonesia. Dalam konteks gunung api, misalnya, kesiapsiagaan masyarakat dapat makin efektif dengan bantuan AI. “Namun, karena AI adalah mesin pembelajar, ia membutuhkan input data yang memadai. Padahal saat ini pengetahuan manusia tentang kompleksitas aktivitas vulkanologi masih sangat terbatas dan kecil. Jadi secanggih apapun AI kalau tidak ada data yang di-input manusia, ya tidak akan bisa (bermanfaat),” katanya.
Hendy Risdianto Wijaya mengungkapkan bahwa ekosistem pengembangan AI di Indonesia saat ini masih konvensional. Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah segera mendorong AI Generatif yang memungkinkan lebih banyak potensi pengembangan. “Dalam AI Generatif ini, kolaborasi data menjadi syarat utama. Dan kemudian perubahan mindset terkait tata kelola data,” ujarnya.
Sistem Penunjang Keputusan
Topik menarik lain yang dibahas dalam seminar ini adalah pentingnya mengolah berbagai data dan informasi kebencanaan kedalam sebuah sistem yang dapat digunakan untuk menunjang proses pengambilan keputusan. Data dan informasi yang digunakan sebaiknya tidak terbatas pada data konvensional yang bersumber pada survey maupun data input dan pengumpulan data yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah, namun data non-konvesional seperti big data maupun informasi yang dihasilkan dari analisa kecerdasan buatan juga perlu dipertimbangkan.
Theresia Junidar menjabarkan bagaimana sistem informasi desa yang multi platform merupakan gabungan dari beberapa aplikasi yang ada dilingkungan kementerian desa dapat diakses oleh para pemangku kepentingan di desa bahkan masyarakat desa pada umumnya. Sistem ini tidak hanya dapat membantu pemerintah desa dalam mengambil keputusan misalnya untuk penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa namun juga dapat diakses oleh lembaga pemerintah lain untuk memprioritaskan program dan sasaran program.
Salah satu contoh Sistem Penunjang Keputusan yang menonjol adalah sistem yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah NTB. Najamuddin Amy menyampaikan bagaimana portal NTB satu data berfungsi sebagai dashboard dan telah diakses oleh hampir 2 juta pengguna karena data yang dikembangan betul-betul siap pakai dan sesuai dengan standar, meskipun NTB memiliki keterbatasan infrastruktur teknologi komunikasi yang belum berkembang maksimal.
Dalam kaitanya dengan penggunaan teknologi dan keterbatasan infrastruktur tersebut, Kementerian Dalam Negeri menekankan pentingnya untuk terus mengembangkan kerja sama dengan sektor privat, terutama penyedia layanan komunikasi untuk memastikan pengembangan infrastruktur yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Program SIAP SIAGA adalah Kemitraan Australia-Indonesia yang bertujuan untuk menguatkan ketangguhan bencana di Indonesia dan Kawasan Indo-Pasifik
HUBUNGI KAMI
Kami akan senang mendengar dari Anda.
Jangan ragu untuk menghubungi menggunakan detail di bawah ini.
Alamat:
SIAP SIAGA
Treasury Tower 59th Floor, District 8 SCBD Lot 28, Jl. Jend. Sudirman Kav 52 – 53
Jakarta Selatan, 12190, Indonesia
Telepon: +6221 7206616
Email: siap.siaga@thepalladiumgroup.com