Siap Siaga

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam upaya Penanggulangan Bencana

Penghapusan kekerasan berbasis gender merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya untuk menyediakan layanan penanggulangan bencana yang aman dan efektif. Oleh karena itu, rangkaian Kampanye 16 Days of Activism Against Gender-Based Violence yang di Indonesia dikenal sebagai Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) ini menjadi kesempatan yang penting untuk meningkatkan kesadaran dan menguatkan komitmen untuk mencapainya. Kampanye HAKTP yang dilakukan selama 25 November hingga 10 Desember setiap tahunnya pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991 dengan disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership. Kampanye tersebut bertujuan mendorong upaya penghapusan kekerasan berbasis gender secara global dalam ekosistem pembangunan. Berbagai elemen di Indonesia telah turut terlibat dalam kampanye internasional tersebut setiap tahun.

Rentang waktu dari tanggal 25 November hingga 10 Desember secara simbolik menghubungkan isu kekerasan terhadap perempuan dengan hak asasi manusia dan termasuk sejumlah peringatan hari penting lainnya. Antara lain: 25 November (Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan), 29 November (Hari Internasional untuk Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia/ Women Human Rights Defender (WHRD)), 1 Desember (Hari AIDS Sedunia), 2 Desember (Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan Manusia), 3 Desember (Hari Internasional bagi Penyandang Disabilitas), 5 Desember (Hari Internasional bagi Sukarelawan), 6 Desember (Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan), 9 Desember (Hari Pembela HAM Sedunia) dan 10 Desember (Hari HAM Internasional).

Panggilan untuk bersama-sama melakukan kampanye selama 16 hari ini menunjukan pentingnya sinergi dari berbagai elemen di masyarakat maupun pemerintah untuk bersama-sama menghapus kekerasan berbasis gender. Kekerasan berbasis gender bisa dialami oleh siapa saja, terutama kelompok rentan termasuk perempuan dan kelompok rentan seperti penyandang disabilitas dan anak-anak. Beberapa studi menemukan bahwa kekerasan berbasis gender meningkat signifikan selama dan pascabencana. Oleh karena itu, upaya pengurangan risiko bencana untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat perlu memperhatikan aspek tersebut. Di sini, pelibatan berbagai pemangku kepentingan – termasuk kelompok rentan menjadi sangat krusial, baik dalam penyusunan kebijakan pengurangan risiko bencana, respons tanggap darurat, maupun inisiaif pascabencana.

Hal tersebut turut digarisbawahi oleh Melissa Fernandez dari kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN OCHA) saat berbicara di acara peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) 2023 di Kendari, Sulawesi Tenggara, Oktober lalu. Menurutnya penting untuk memastikan bahwa bantuan kemanusiaan dapat memenuhi kebutuhan semua populasi, termasuk kelompok rentan. Upaya tersebut harus dilakukan dengan memastikan hadirnya suara perempuan dan anak dalam memutuskan, termasuk dalam aspek perlindungan dan keamanan. Hingga saat ini, kurangnya partisipasi dan pelibatan perempuan dalam upaya pengurangan risiko bencana dan perencanaan tanggap darurat membuat perempuan kesulitan dalam mengakses kebutuhan dasar dalam situasi darurat – yang pada akhirnya membuatnya lebih rentan untuk mengalami kekerasan seksual ataupun kekerasan berbasis gender lainnya. Gender Spesialist Program SIAP SIAGA Lutri Huriyani juga menekankan bahwa tidak boleh ada satupun bagian dari masyarakat yang dilupakan, termasuk perempuan, penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya. Pelibatan mereka sangat penting pada manajemen bencana yang lebih efektif dalam mengurangi risiko yang dihadapinya pada situasi darurat.