Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Raditya Jati saat membuka seminar mengatakan, saat ini penerapan konsep resiliensi berkelanjutan masih dipengaruhi ego sektoral. Setiap individu maupun kelompok masih menginginkan eksistensi. Padahal, yang perlu diwujudkan adalah eksistensi bersama. Ego sektoral perlu ditinggalkan karena upaya untuk mewujudkan resiliensi berkelanjutan membutuhkan peran dari semua sektor di setiap level. “Untuk mewujudkan platform bersama, indikator yang digunakan perlu dilihat satu level. Perlu menajamkan konsep resiliensi berkelanjutan melalui indikator yang terukur, platform yang inklusif, dan kerangka dan perangkat kerja yang jelas,” katanya.
Padahal, kolaborasi yang tidak diwarnai dengan ego sektoral sangatlah diperlukan di berbagai level, termasuk di level global. Kolaborsi global itu penting karena saat ini risiko bencana semakin beragam dengan skala yang luas, misalnya dampak perubahan iklim. Terkait dengan itu, Lu’lu menambahkan bahwa saat ini tidak ada kerangka kerja tunggal yang mampu mengatasi permasalahan bencana secara global. Untuk itu, Indonesia perlu mengintegrasikan tiga perjanjian global terkait pengurangan risiko bencana guna mendorong kerja sama yang holistik dan implementasi yang adaptif dalam upaya mencapai resiliensi. Tiga perjanjian global tersebut adalah Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana (Sendai Framework for Disaster Risk Reduction/SFDRR), Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dan Perjanjian Paris (Paris Agreement) tentang perubahan iklim.

Strategi resiliensi bencana lokal akan semakin efektif apabila bisa terintegrasi dengan sejumlah komitmen global terkait pengurangan risiko bencana. Oleh karena itu, pelokalan komitmen-komitmen global terkait tujuan pembangunan menjadi hal yang krusial.
Hal tersebut mengemuka sebagai hasil temuan awal dari kajian yang menyoroti pelokalan komitmen global dalam mendukung resiliensi berkelanjutan terkait dengan bencana tsunami Aceh pada 2004 silam. Hasil kajian awal yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan dukungan dari Program SIAP SIAGA tersebut menjadi topik utama Seminar Pelokalan Komitmen Global untuk Resiliensi Berkelanjutan: “Sebuah Pendekatan Terpadu”, yang diselenggarakan di Jakarta pada 13 Mei 2024.
Seminar tersebut menghadirkan sejumlah pembicara yang terbagi dalam dua sesi, yakni sesi paparan dan diskusi panel. Di sesi paparan, pembicaranya adalah Analis Kebijakan Ahli Madya Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Fredrick Simatupang, yang disusul presentasi hasil kajian awal BNPB oleh Lu’lu Muhammad selaku salah satu anggota tim pengkaji.
Adapun di sesi diskusi panel, para panelisnya antara lain Sekretaris Jenderal Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana (Planas PRB) Naibul Umam Eko Sakti; Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Pemerintahan Desa, Kependudukan, dan Pencatatan Sipil Provinsi Nusa Tenggara Barat Ahmad Nur Aulia; Country Manager Local Governments for Sustainability (ICLEI) Arif Wibowo; Manager Pilar Pembangunan Lingkungan Sekretariat Nasional SDGs Rachman Kurniawan; dan Putri Rahayu Ratri dari Mercy Corps Indonesia (MCI).
Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Raditya Jati saat membuka seminar mengatakan, saat ini penerapan konsep resiliensi berkelanjutan masih dipengaruhi ego sektoral. Setiap individu maupun kelompok masih menginginkan eksistensi. Padahal, yang perlu diwujudkan adalah eksistensi bersama. Ego sektoral perlu ditinggalkan karena upaya untuk mewujudkan resiliensi berkelanjutan membutuhkan peran dari semua sektor di setiap level. “Untuk mewujudkan platform bersama, indikator yang digunakan perlu dilihat satu level. Perlu menajamkan konsep resiliensi berkelanjutan melalui indikator yang terukur, platform yang inklusif, dan kerangka dan perangkat kerja yang jelas,” katanya.
Di sesi paparan, Fredrick Simatupang, Analis Kebijakan Ahli Madya Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri, menengarai bahwa ego sektoral merupakan penyebab munculnya persoalan terkait pengelolaan bencana di daerah. Menurutnya, aspek rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di daerah cenderung mandul karena fokusnya lebih ke sektor permukiman dan pekerjaan umum. “Sebetulnya ini masuk ke dalam pelayanan dasar. Dalam UU 23/2014, anggaran daerah diprioritaskan untuk pelayanan dasar (bencana). Namun, kita tidak punya data yang kuat sebagai referensi untuk menjadikan Indonesia yang tangguh,” tutur Fredrick.
Anggota tim pengkaji BNPB Lu’lu Muhammad dalam presentasinya tentang hasil awal kajian menjelaskan, ego sektoral itu harus diakui ada, yang antara lain terlihat dari banyaknya forum tematik yang berbeda-beda seperti kebencanaan, perubahan iklim, SDGs dan lain-lain. Terlebih, ada banyak pemangku kepentingan di level yang berbeda-beda juga. Dengan begitu, ego sektoral itu tidak hanya terjadi pada pemerintah, namun juga pemangku kepentingan lain. “Dan ini menyebabkan dari sisi masyarakat akhirnya juga terkotak-kotak,” katanya.
Padahal, kolaborasi yang tidak diwarnai dengan ego sektoral sangatlah diperlukan di berbagai level, termasuk di level global. Kolaborsi global itu penting karena saat ini risiko bencana semakin beragam dengan skala yang luas, misalnya dampak perubahan iklim. Terkait dengan itu, Lu’lu menambahkan bahwa saat ini tidak ada kerangka kerja tunggal yang mampu mengatasi permasalahan bencana secara global. Untuk itu, Indonesia perlu mengintegrasikan tiga perjanjian global terkait pengurangan risiko bencana guna mendorong kerja sama yang holistik dan implementasi yang adaptif dalam upaya mencapai resiliensi. Tiga perjanjian global tersebut adalah Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana (Sendai Framework for Disaster Risk Reduction/SFDRR), Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dan Perjanjian Paris (Paris Agreement) tentang perubahan iklim.
Dengan mengintegrasikan prinsip dan tujuan dari perjanjian global tersebut, pemerintah di berbagai tingkatan dapat memperkuat upaya mereka dalam mengelola risiko bencana, memitigasi dampak perubahan iklim, dan mempromosikan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. “Tantangannya terkait koordinasi, alokasi sumber daya, prioritas yang berbeda, dan kebutuhan akan transformasi kebijakan. Maka diperlukan implementasi kolaboratif dan terintegrasi untuk mengatasi hambatan sistemik,” ujarnya. Seiring dengan proses integrasi tersebut, upaya pelokalan juga perlu terus didorong. “Pelokalan menjadi hal yang krusial karena adanya perbedaan karakteristik dari satu daerah dengan daerah lain,” tambah Lu’lu.
Platform Bersama

Di sesi diskusi panel, Sekretaris Jenderal Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana (Planas PRB) Naibul Umam Eko Sakti menyampaikan bahwa Indonesia telah memiliki perangkat perencanaan pembangunan relatif lengkap yang menyelaraskan SFDRR, SDG’s, dan Perjanjian Paris. Namun, upaya pengimplementasiannya sering terkendala koordinasi yang belum baik akibat perbedaan kepentingan sektoral. Untuk itu, setidaknya ada lima aspek yang perlu diperhatikan dalam pelokalan program pengurangan risiko bencana. Mereka adalah tumpang tindih dan koordinasi yang lemah, kurangnya kesadaran dan kepemilikan lokal, keterbatasan kapasitas dan sumber daya, keragaman konteks lokal, serta kurangnya data dan informasi yang akurat.
Menurut Umam, harmonisasi kebijakan penanganan bencana bisa menjadi solusi. Salah satu upaya harmonisasi kebijakan tersebut perlu dilakukan secara partisipatif dengan mengadopsi pengalaman yang telah ada. Misalnya, penanganan banjir lahar Gunung Marapi dapat mereplikasi penanganan banjir lahar Gunung Merapi. Dengan demikian, perlu koordinasi antara pengambilan keputusan dengan penanganan teknis.
Manager Pilar Pembangunan Lingkungan Sekretariat Nasional SDGs Rachman Kurniawan menjelaskan, SDGs memiliki beberapa prinsip yang beririsan dengan prinsip pengurangan risiko bencana. Salah satunya adalah prinsip no one left behind atau tidak ada yang tertinggal. Oleh karena itu, penting kiranya untuk mendorong strategi PRB agar mengadopsi prinsip lain dalam SDGs. Adopsi itu bisa diterapkan di dalam penyusunan indikator, program, kegiatan, hingga monitoring dan evaluasi program. “Artinya SDGs memiliki peluang untuk dijadikan sebagai platform integrasi berbagai isu pembangunan termasuk dalam meningkatkan capaian ketahanan berkelanjutan yang selaras dengan komitmen global dengan agenda pembangunan nasional hingga daerah,” ujarnya.
Ia menambahkan, menjaring informasi dari pelaku teknis di lapangan, seperti pemerintah daerah, pemerintah desa, dan masyarakat, sangatlah diperlukan. Tantangannya adalah keterbatasan sumber daya dan kemungkinan adanya konflik kepentingan. Namun, hal tersebut dapat diatasi dengan pemahaman dan pendampingan dalam memilih decision support system.
Adapun Putri Rahayu Ratri dari Mercy Corps Indonesia mengungkapkan pentingnya pendampingan bagi pemerintah desa dalam mengimplementasikan program dan penganggaran berdasarkan pedoman yang berlaku. “Caranya antara lain dengan mendorong kegiatan yang menunjukkan keterkaitan aspek bencana, resiliensi berkelanjutan, dan ekonomi di mana masyarakat telah mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari,” ucapnya.
Kate Smith dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia dalam sambutan penutup menggarisbawahi pentingnya penyelarasan regulasi global seperti SFDRR, SDGs, API, yang terkoordinasi dan melibatkan berbagai sektor. “(Selanjutnya) Indonesia perlu mengupayakan pelokalan komitmen global tersebut untuk meningkatkan kapasitas sumber daya lokal. Melokalkan komitmen global dalam PRB akan meningkatkan resiliensi,” pungkasnya.

Program SIAP SIAGA adalah Kemitraan Australia-Indonesia yang bertujuan untuk menguatkan ketangguhan bencana di Indonesia dan Kawasan Indo-Pasifik
HUBUNGI KAMI
Kami akan senang mendengar dari Anda.
Jangan ragu untuk menghubungi menggunakan detail di bawah ini.
Alamat:
SIAP SIAGA
Treasury Tower 59th Floor, District 8 SCBD Lot 28, Jl. Jend. Sudirman Kav 52 – 53
Jakarta Selatan, 12190, Indonesia
Telepon: +6221 7206616
Email: siap.siaga@thepalladiumgroup.com