Menjaga Semangat Kerelawanan di Nusa Tenggara Barat


Dinamika kerja yang luar biasa itu membuat Eka nyaris tidak sempat memikirkan diri dan keluarganya. Panggilan kemanusiaanlah yang membuat ia dan anggota Sekber lainnya bekerja jauh melebihi tugas resminya. Namun, yang mereka lakukan berbuah positif. Data yang dikelola Sekber tidak hanya menjadi acuan kebijakan dan informasi oleh media, tapi juga menjadi dasar monitoring dan evaluasi penerimaan bantuan.

WhatsApp Image 2024 08 05 at 4.23.16 PM 1

Bencana gempa bumi yang melanda Pulau Lombok pada tahun 2018 menjadi momentum penting bagi menguatnya semangat kerelawanan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Semangat itulah yang terus membangun ketangguhan pada masyarakat, komunitas, dan organisasi dalam menghadapi bencana alam.

Ada ungkapan, “pada saat terjadi bencana, jiwa manusia sering kali menunjukkan sisi terbaiknya.” Ungkapan ini muncul karena ketika terjadi bencana, ada sejumlah orang yang memang seperti tidak memikirkan dirinya dan lebih fokus pada keselamatan orang-orang di sekitarnya. Semangat kemanusiaan dan kerelawanan mendorong mereka. Hal semacam ini juga terlihat ketika gempa bermagnitudo 7 Skala Richter mengguncang Lombok enam tahun silam. Kejadian itu tidak hanya membawa tragedi dan penderitaan, tetapi ada begitu banyak cerita tentang bagaimana setiap warga berupaya menyelamatkan diri sembari memastikan warga lainnya selamat, baik saat terjadi gempa maupun sesudahnya ketika mereka harus hidup di pengungsian selama berbulan-bulan.

Sisi kemanusiaan itu tak dibatasi oleh sekat formal pekerjaan apalagi jabatan. Suryani Eka Wijaya (Eka), perencana Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi NTB, misalnya, memutuskan untuk segera kembali bekerja meskipun ia masih merasa trauma. Ia menuturkan, seusai gempa besar, gempa susulan masih datang berkali-kali sehingga ia dan keluarga tidur di depan rumah. Gempa susulan yang cukup menambah trauma terjadi pada 19 Agustus 2018. Ia merasa waktu itu seperti sedang mengalami mimpi buruk. Suasana begitu mencekam. Ia dan warga lainnya begitu takut sehingga memilih tidur di ruang terbuka. Di Kota Mataram, banyak ruang terbuka, termasuk halaman kantor-kantor pemerintah, yang menjadi tempat pengungsian sementara.

Waktu itu, aktivitas warga termasuk pemerintah nyaris lumpuh. “Lalu suatu hari saya ditelepon Bapak Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi NTB, diminta untuk ke kantor bawa laptop. Lalu saya sama adik pergi kantor, berusaha memahami apa yang terjadi dan berusaha membantu apa yang kami bisa,” ujarnya saat membagikan pengalaman dan refleksi peringatan enam tahun gempa Lombok pada Senin (5/8) di Kota Mataram.

Acara peringatan enam tahun gempa Lombok itu diisi dengan peluncuran buku berjudul Berdamai dengan Bencana: Pembelajaran Strategi Pengurangan Risiko Bencana dengan Ragam Pendekatan di NTB. Buku tersebut merupakan kompilasi tulisan para anggota Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Provinsi NTB sebagai bentuk pembelajaran penanggulangan bencana gempa bumi Lombok, yang merupakan hasil dari kolaborasi Pemerintah Provinsi NTB dan FPRB Provinsi NTB dengan dukungan dari Program SIAP SIAGA. Eka merupakan salah satu penulis buku tersebut.

Menurut Eka, dalam situasi penuh ketakutan, ditambah lagi kekhawatiran terhadap kondisi keluarga, dirinya memutuskan harus tetap bekerja. Keputusan tersebut ia ambil mengingat kantor pemerintahan provinsi di Kota Mataram relatif masih lumpuh karena banyaknya pegawai yang tidak masuk. Padahal, ada banyak langkah tanggap darurat yang mesti segera dilakukan.

Eka lantas tergabung dalam tim kecil yang kemudian disebut Sekretariat Bersama (Sekber). Sekber ini fokus pada percepatan penanganan gempa, terutama terkait konsolidasi data dari seluruh kabupaten/kota terdampak sebagai dasar dalam menyusun rencana penanganan gempa. “Saya tidak ingat, apakah Sekber ini ada surat tugasnya atau tidak. Tidak penting lagi waktu itu, yang penting gerak dulu,” ujarnya.

Upaya konsolidasi data saat itu menjadi urgensi agar kebijakan yang diambil memiliki data yang valid. Mulai dari jumlah korban, bangunan dan infrastruktur lain yang terdampak, hingga kebutuhan logistik. Dalam situasi bencana, persoalan data kerap menjadi masalah dan itu sempat juga terjadi di situasi gempa Lombok. Apalagi sumber data sangatlah beragam, mulai dari kelompok warga, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), hingga aparat pemerintah. Konsolidasi data yang dilakukan Sekber inilah yang membuat aliran data saat gempa Lombok menjadi terpusat dan dapat dipantau terus menerus.

“Alhamdulillah di Sekber, keruwetan masalah data itu bisa diatasi. Tapi data itu kan perubahannya sangat cepat dan bisa dibilang setiap saat. Inilah yang membuat kami di Sekber bekerja 24 jam sehari, tujuh hari seminggu,” katanya.

Mempercepat Bantuan

WhatsApp Image 2024 08 05 at 4.23.17 PM 1

Dinamika kerja yang luar biasa itu membuat Eka nyaris tidak sempat memikirkan diri dan keluarganya. Panggilan kemanusiaanlah yang membuat ia dan anggota Sekber lainnya bekerja jauh melebihi tugas resminya. Namun, yang mereka lakukan berbuah positif. Data yang dikelola Sekber tidak hanya menjadi acuan kebijakan dan informasi oleh media, tapi juga menjadi dasar monitoring dan evaluasi penerimaan bantuan.

Bahkan data tersebut kemudian dijadikan bekal Pemerintah Provinsi NTB untuk mencari sumber pendanaan selain dari APBN dan APBD. Pemerintah Provinsi NTB akhirnya mendapatkan dana bantuan penanganan gempa berupa hibah dari Pemerintah Jerman. Dana hibah itu digunakan untuk mendanai program pascabencana yang telah dituangkan dalam Rencana Aksi Gempa NTB. Selain Jerman, negara-negara lain yang ikut membantu adalah Australia dan Qatar. “Kepercayaan mereka memberi bantuan tak lepas dari data-data yang kami berikan sebagai dasar proposal. Jika tidak ada data, sulit untuk meyakinkan negara-negara tersebut untuk memberikan dukungan,” tuturnya.

Pengalaman serupa diceritakan oleh Burhan, Kepala Dusun Karang Subagan Daya, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara. Seperti dikisahkan pada buku “Berdamai dengan Bencana: Pembelajaran Strategi Pengurangan Risiko Bencana dengan Ragam Pendekatan di NTB”, meski keluarga dan lingkungannya masih dalam pengungsian, dia bersama Tim Siaga Bencana Desa (TSBD) segera melakukan pendataan kondisi rumah warga, baik yang mengalami rusak berat, sedang, maupun ringan.

Baginya, setelah kebutuhan logistik harian di pengungsian sudah cukup stabil, proses pemulihanlah yang mesti segera dilakukan. Sebab tidak hanya soal kerusakan rumah dan bangunan lain, saluran air dan jalan pun terhalang oleh reruntuhan sehingga perlu segera dibersihkan agar warga dapat mulai menata ulang hidupnya.

Proses pendataan rumah dilakukan Burhan bersama tim dengan menggunakan foto dari ponsel, sehingga dapat disertai titik koordinat secara pasti. Data ini lantas segera diserahkan Burhan kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Bappeda Kabupaten Lombok Utara untuk diverifikasi. Hasilnya, Dusun Karang Subagan Daya menjadi salah satu wilayah tercepat yang mendapatkan bantuan pemulihan.

Menjaga Semangat

WhatsApp Image 2024 07 15 at 2.00.57 PM 1

Ketua FPRB Provinsi NTB Rahmat Sabani mengakui, gempa bumi Lombok 2018 menjadi semacam momentum menguatnya semangat kemanusiaan sekaligus konsolidasi para relawan. Bencana membangun semangat kebersamaan para relawan yang sebelumnya terpisahkan oleh program maupun lembaga yang memayungi aktivitas mereka.

“Dari sisi kearifan lokal dan budaya, sebenarnya semangat saling membantu di warga kan sudah kuat. Sedangkan kalau dalam konteks kebencanaan, di NTB sudah mulai ada sukarelawan bencana sejak 2010 saat mulai inisiatif TSBD di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Utara,” katanya. Sejak itu, lanjutnya, keberadaan para relawan memang tergantung lembaga yang menaungi, baik pemerintah maupun nonpemerintah. Sampai akhirnya terjadi gempa 2018 yang menjadi titik konsolidasi, yang kemudian terjadi kembali pada saat pandemi Covid-19 melanda.

Ketika kedua momentum tersebut sudah terlewati, menjadi penting untuk tetap menjaga konsolidasi para relawan tanpa menegasikan lembaga atau program yang memayungi. “Kami di FPRB sedang merancang perlu tidaknya ada unit tersendiri di FPRB yang bisa menjadi wadah komunikasi mereka. Apalagi saat ini FPRB telah memiliki data sukarelawan di NTB yang cukup lengkap. Yang jelas, menurut saya saat ini belum perlu ada pelembagaan khusus misalnya berupa Forum Sukarelawan,” ujar Rahmat.

Pembentukan lembaga khusus, apalagi jika berbentuk unit kerja lengkap dengan insentif rutin, menurutnya justru akan membuat volunterisme tercabut dari akarnya. Apalagi tidak semua berada di bawah payung lembaga tertentu, melainkan volunter individu yang mandiri.

Rahmat menegaskan, setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan untuk merawat keberadaan volunter kebencanaan di NTB. Pertama, memastikan mereka merasa senang dan bahagia dengan yang dilakukan. Kedua, ada pengakuan dan apresiasi terhadap peran mereka. Namun apresiasi ini lebih bersifat sosial dan bukan berbentuk insentif uang maupun barang. Ketiga, membuat beragam kegiatan agar kegiatan para volunter tidak vakum. Salah satu yang akan diadakan di tahun 2024 ini adalah Jambore Sukarelawan NTB, yang bertempat di Kabupaten Bima. “Yang mesti kita sadari adalah, semangat mereka harus terus kita jaga. Bagaimanapun mereka adalah garda terdepan di saat bencana, bahkan kadang tanpa memikirkan diri dan keluarganya,” tegas Rahmat.

logo siapsiaga white

Kami akan senang mendengar dari Anda.
Jangan ragu untuk menghubungi menggunakan detail di bawah ini.

Alamat:
SIAP SIAGA
Treasury Tower 59th Floor, District 8 SCBD Lot 28, Jl. Jend. Sudirman Kav 52 – 53
Jakarta Selatan, 12190, Indonesia
Telepon: +6221 7206616
Email: siap.siaga@thepalladiumgroup.com