Upaya menata energi kerelawanan dan pembagian peran itu saat ini dilakukan bersamaan dengan pembentukan Desa Tangguh Bencana (Destana) bagi Desa Dinas dan Desa Adat Tangguh Bencana bagi Desa Adat. FPRB Bali bekerja sama dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di level provinsi maupun kabupaten berupaya mendorong hal itu dengan dukungan dari Program SIAP SIAGA.
Semangat sukarela membantu sesama dan gotong royong telah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari warga Bali. Semangat tersebut merupakan landasan penting dalam mendorong tata kelola penanggulangan bencana di Bali yang lebih baik sehingga bisa mendorong ketangguhan warga.
Dewi Reny Anggraeni, Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Provinsi Bali, menjelaskan, berbeda dengan daerah lain di Indonesia, di Bali ada Desa Dinas yang fokus pada urusan administrasi pemerintahan dan Desa Adat yang fokus pada urusan agama dan budaya. Wilayah Desa Adat dan Desa Dinas saling beririsan sehingga sebagian besar penduduk Desa Dinas umumnya merupakan bagian dari warga Desa Adat. Oleh karena itu, upaya mendorong ketangguhan di Bali harus diawali dengan mendorong Desa Dinas dan Desa Adat yang tangguh. Dalam konteks itulah kekuatan gotong royong dan semangat sukarela warga menjadi bekal yang sangat baik.
Menurut dia, di Desa Adat, semangat sukarela masyarakat sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari, mulai dari penyelenggaraan upacara adat hingga ketika ada warga yang terkena musibah. “Khusus terkait bencana, kita bisa melihat contoh ketika Gunung Agung erupsi di tahun 2017. Selama di lokasi pengungsian, ada banyak inisiatif yang bagus dari warga. Mereka saling berbagi. Mereka kan mengungsi berbulan-bulan, jadi di lokasi pengungsian mereka sempat bersama-sama menyewa lahan untuk berkebun bersama dengan menanam sayur, hingga saling membantu dalam menyelenggarakan berbagai upacara termasuk pernikahan,” ujarnya.
Bendesa (Kepala Desa) Desa Adat Dukuh di Kabupaten Karangasem, I Nyoman Menget Mardiasa, mengamini hal itu. Selama ini, tatanan dalam Desa Adat membuat warga terlibat dalam berbagai kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Kehidupan mereka tergantung satu sama lain sehingga saling membantu menjadi suatu kebutuhan, termasuk saat menghadapi bencana.
Selain itu, Desa Adat punya aturan sendiri terkait bencana dalam Awig-Awig yang merupakan aturan tertinggi di Desa Adat. Desa Adat Dukuh yang posisinya juga berada di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Gunung Agung juga memiliki sejumlah aturan terkait bencana yang di dalamnya berisi perintah dan larangan untuk mengantisipasi maupun menghindari dampak bencana. Hal itu juga didukung dengan adanya sanksi adat bagi warga yang tidak memenuhi ketentuan bersama.
Meskipun demikian, Nyoman mengakui bahwa selama ini masih ada banyak celah dalam penanganan bencana di Desa Adat Dukuh. Ketika Gunung Agung erupsi pada 2017, warga sempat kebingungan saat diminta pemerintah untuk mengungsi. Warga yang panik menyelamatkan keluarga dan ternaknya sendiri-sendiri sehingga sempat terjadi kemacetan di jalur evakuasi. Selain itu, karena tidak ada persiapan, mereka terpaksa menjual ternaknya dengan harga 50% lebih rendah dari harga pasar. “Dalam situasi panik, semangat saling bantu ini tetap ada, tetapi karena tidak ada koordinasi jadi warga mengungsi sendiri-sendiri,” katanya.
Berbagi Peran
Menurut Dewi, pengalaman saat evakuasi warga dalam kondisi darurat bencana seperti yang terjadi di Desa Adat Dukuh menjadi pelajaran berharga. Semangat kerelawanan perlu ditata agar energi yang melimpah bisa disalurkan sesuai dengan kebutuhan. “Perlu diatur siapa mengerjakan apa. Dalam kondisi darurat, siapa yang bantu ungsikan ternak, siapa yang bantu lansia, dan sebagainya,” ucapnya.
Upaya menata energi kerelawanan dan pembagian peran itu saat ini dilakukan bersamaan dengan pembentukan Desa Tangguh Bencana (Destana) bagi Desa Dinas dan Desa Adat Tangguh Bencana bagi Desa Adat. FPRB Bali bekerja sama dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di level provinsi maupun kabupaten berupaya mendorong hal itu dengan dukungan dari Program SIAP SIAGA.
Dewi menambahkan, di Desa Adat, penataan dan pembagian peran semacam itu dimasukkan ke dalam pararem atau aturan tambahan dari Awig-Awig yang terkait dengan kebencanaan. Perumusan pararem terkait kebencanaan itu dirintis di Desa Adat Temukus, Desa Adat Dukuh, dan Desa Adat Komala.
Menurut Penyarikan (sekretaris) Desa Adat Dukuh Komang Sutana, melalui fasilitasi dari FPRB Bali dan BPBD Karangasem, saat ini Desa Adat Dukuh sudah memiliki pararem terkait kebencanaan. Pararem ini menjadi rujukan terkait langkah yang diambil baik dalam kondisi darurat, maupun sebelum terjadi bencana.
Guna mengoperasionalkan pararem tersebut, Desa Adat Dukuh juga telah memiliki Kelompok Kerja (Pokja) Penanggulangan Bencana. Pembagian peran pun kini sudah dilakukan dalam Pokja. Misalnya, saat bencana tiba, sudah ada yang bertanggung jawab atas logistik, evakuasi warga maupun ternak, hingga terkait upacara adat yang perlu dilakukan untuk merespons bencana. Kelompok perempuan juga terlibat di dalam Pokja ini.
Semangat Desa Dinas
Jika Desa Adat memulai langkahnya menjadi tangguh dengan menyusun pararem, Desa Dinas bergerak menjadi Destana dengan berupaya memenuhi beragam indikator Penilaian Ketangguhan Desa (PKD). Ini merupakan instrumen penilaian mandiri oleh desa maupun kelurahan untuk mengukur tingkat ketangguhan desa/kelurahan masing-masing yang dikembangkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hasil PKD bisa menjadi acuan bagi desa/kelurahan dalam merumuskan strategi dan kebijakan untuk menjadi desa/kelurahan yang tangguh.
Made Separsa, Perbekel (Kepala Desa Dinas) Gobleg, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, menuturkan, dengan mengisi PKD, ia dan staf desa lainnya kini lebih memahami indikator apa saja yang perlu dipenuhi agar desa bisa menjadi lebih siap dalam menghadapi bencana. Kesiapan itu tidak hanya menyangkut bagaimana menghadapi situasi darurat, namun justru sebelum situasi darurat itu terjadi melalui peningkatan kapasitas khususnya bagi staf desa maupun warga yang bergiat sebagai relawan bencana, kegiatan mitigasi bencana, hingga pengalokasian anggaran untuk mendukung kegiatan penanggulangan bencana, dan penerbitan kebijakan di tingkat desa.
Berada di kawasan perbukitan, longsor menjadi salah satu ancaman bencana utama Desa Gobleg. Selain itu, ada juga risiko kebakaran, kekeringan, puting beliung, hingga gempa bumi. Oleh karena itu, selain mengajak warga untuk selalu siaga dan saling bantu, Separsa bersama staf desa maupun anggota Satuan Perlindungan Masyarakat (Satlinmas) selalu berusaha segera merespons setiap kejadian bencana yang menimpa warga. Perpaduan kesiapsiagaan desa yang didukung dengan semangat kerelawanan warga akan menjadi kunci bagi ketangguhan Desa Gobleg.
Sebagai kepala desa, Separsa sadar betul bahwa upaya penanggulangan bencana membutuhkan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, ia menyambut baik upaya BPBD Provinsi Bali dan Buleleng, dengan dukungan dari Program SIAP SIAGA, yang mendorong desa-desa dinas di Bali untuk mengisi perangkat Penilaian Ketangguhan Desa atau PKD.
Program SIAP SIAGA adalah Kemitraan Australia-Indonesia yang bertujuan untuk menguatkan ketangguhan bencana di Indonesia dan Kawasan Indo-Pasifik
HUBUNGI KAMI
Kami akan senang mendengar dari Anda.
Jangan ragu untuk menghubungi menggunakan detail di bawah ini.
Alamat:
SIAP SIAGA
Treasury Tower 59th Floor, District 8 SCBD Lot 28, Jl. Jend. Sudirman Kav 52 – 53
Jakarta Selatan, 12190, Indonesia
Telepon: +6221 7206616
Email: siap.siaga@thepalladiumgroup.com