Dokumentasi Ketangguhan Komunitas Lokal untuk Resiliensi Berkelanjutan


Direktur Kesiapsiagaan BNPB Pangarso Suryotomo menyebutkan bahwa pembelajaran dari inisiatif lokal di sejumlah kawasan pantai/pesisir akan menjadi masukan penting bagi penyusunan kebijakan penanggulangan bencana. Untuk itu, pendokumentasian dan diseminasi kisah ketangguhan komunitas lokal menjadi perlu. Hal itu antara lain dilakukan melalui penyusunan buku tentang ketangguhan komunitas pesisir. “Melalui pemeliharaan pengetahuan yang baik terhadap praktik adaptasi perubahan iklim serta pengelolaan risiko bencana, resiliensi berkelanjutan dapat dicapai,” tegasnya.

Picture1 2

Beragam inisiatif lokal terbukti mampu membangun ketangguhan masyarakat dalam menghadapi risiko bencana, termasuk di wilayah pesisir. Pendokumentasikan inisiatif lokal perlu dilakukan agar pembelajaran yang diambil bisa menginspirasi upaya penanggulangan bencana oleh berbagai pihak.

Hal itu disampaikan Deputi Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Prasinta Dewi saat membuka Sarasehan Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional pada 26 April 2024 di Padang, Sumatera Barat, yang bertema Ketangguhan Komunitas Pantai. Menurut beliau, salah satu sumber pengetahuan adalah kearifan lokal yang dapat direplikasikan secara efisien dengan memanfaatkan modal sosial untuk ketangguhan bersama.

Dalam sarasehan tersebut, cerita-cerita tentang inisiatif lokal komunitas pantai dihadirkan langsung oleh para pegiat dari sejumlah kawasan pesisir Indonesia. Ada Pati Haryose, pendiri dan pengelola Konservasi Penyu Jambak Sea Turtle Camp Pasir Jambak, Provinsi Sumatera Barat; Mohammad Mukhyi, pegiat konservasi di Pantai Rejo (Pantai Cemara), Provinsi Jawa Timur; Jull Takaliuang, inisiator #SaveSangihe, Provinsi Sulawesi Utara; dan Eliza Marthen Kissya, Kepala Kewang Negeri Haruku, Provinsi Maluku. Selain itu, ada juga cerita dari M. Ilman, Direktur Program Kelautan, Yayasan Konservasi Alam Nusantara yang bergerak di kawasan timur Indonesia; serta Shofa Al Quds, General Manager Program Disaster Management Center Dompet Dhuafa yang bekerja bersama komunitas pantai di Pacitan, Jawa Timur.

Adapun para penanggap dalam sarasehan tersebut antara lain Kasi Mitigasi Bencana Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Fina Ardarini; Dewan Pakar Forum PRB Aceh dan Dosen Prodi Manajemen Bencana, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Aceh Risma Sunarty; Dosen Perikanan dan Kelautan Universitas Bung Hatta Padang Harfiandri Damanhuri; dan Deputi Sistem dan Strategi BNPB Raditya Jati.

Senada dengan Prasinta, Direktur Kesiapsiagaan BNPB Pangarso Suryotomo menyebutkan bahwa pembelajaran dari inisiatif lokal di sejumlah kawasan pantai/pesisir akan menjadi masukan penting bagi penyusunan kebijakan penanggulangan bencana. Untuk itu, pendokumentasian dan diseminasi kisah ketangguhan komunitas lokal menjadi perlu. Hal itu antara lain dilakukan melalui penyusunan buku tentang ketangguhan komunitas pesisir. “Melalui pemeliharaan pengetahuan yang baik terhadap praktik adaptasi perubahan iklim serta pengelolaan risiko bencana, resiliensi berkelanjutan dapat dicapai,” tegasnya.

Buku tentang ketangguhan komunitas pesisir itu disusun dengan mengambil kisah-kisah dari sejumlah komunitas pesisir, termasuk yang membagikan ceritanya di dalam sarasehan ini. Penyusunan buku ini didukung oleh Pemerintah Australia melalui Program SIAP SIAGA. Menurut Simon Flores, Counsellor for Development Effectiveness Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia, kolaborasi dalam penanggulangan bencana dengan Indonesia sangatlah penting karena kawasan Indo Pasifik adalah wilayah paling rawan bencana di dunia. “Salah satu komitmen dukungan Pemerintah Australia kepada upaya manajemen risiko bencana di Indonesia adalah melalui Program SIAP SIAGA. Saya mengapresiasi komitmen BNPB dalam mendorong penanggulangan bencana inklusif yang berorientasi pada praktik lokal,” katanya.

Deputi Sistem dan Strategi BNPB Raditya Jati mengatakan, ketangguhan komunitas di wilayah pesisir penting tidak saja karena Indonesia adalah negara kepulauan, melainkan juga karena tingkat risiko bencana di kawasan pesisir memang tinggi. Hal ini sudah diakomodasi dalam Kerangka Kerja Sendai. “Yang mengusulkan agar (risiko negara kepulauan) dimasukkan (ke dalam Kerangka Kerja Sendai) Indonesia, yang kemudian disetujui oleh dunia internasional. Diperkirakan sekitar 50 persen populasi dunia pada tahun 2050 akan tinggal di wilayah pesisir,” ujar Raditya.

Aspek ekonomi

Picture1 3

Menilik kisah-kisah dari para pegiat komunitas pesisir, upaya penanggulangan bencana yang dilakukan bisa berhasil dan berkelanjutan ketika digabungkan dengan aktivitas pemberdayaan ekonomi. Cara tersebut bahkan membantu mereka menghadapi berbagai tantangan.

Mohammad Mukhyi, misalnya, mengungkapkan ketika mulai menanam cemara udang di pantai pada 2011, dirinya sempat tidak diajak bicara oleh sesama nelayan di wilayahnya. Penanaman cemara dinilai akan mengganggu kegiatan menangkap ikan di pantai. Padahal tujuan penanaman pohon itu untuk menanggulangi dampak angin kencang dan abrasi yang kian parah.

“Setelah pohon cemara udang itu makin besar, jadi ya sekitar setahun umurnya, para nelayan yang semula menolak akhirnya mendukung karena memahami pentingnya pohon-pohon cemara udang itu dalam melindungi wilayah dari abrasi dan angin kencang. Setelah ada mangrove dan konservasi penyu, kelompok-kelompok nelayan makin semangat berkegiatan konservasi karena ekowisata di wilayah kami terbukti bisa menjadi sumber penghasilan,” jelasnya.

Harfiandri Damanhuri, Dosen Perikanan dan Kelautan di Universitas Bung Hatta Padang, Sumatera Barat, mengatakan, aspek ekonomi memang menjadi penting agar pembangunan ketangguhan berbasis komunitas di wilayah pesisir bisa berkembang. Seperti pengalaman Mukhyi di Banyuwangi, ia menyebut bahwa konservasi penyu di wilayah Pariaman yang sudah dikunjungi oleh wisatawan mancanegara mendorong munculnya ratusan pelaku usaha kecil. “Dari situlah kemudian warga bisa melangkah lebih jauh ke penanaman bakau dan konservasi terumbu karang,” katanya.

Menurut Fida Ardarini, Kepala Seksi Mitigasi Bencana Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, manfaat ekonomi yang pada akhirnya bisa didapatkan oleh para komunitas pegiat lingkungan di sejumlah kawasan pesisir tersebut sejalan dengan program Ekonomi Biru. “Kami sangat terbantu dengan aktivitas komunitas yang diceritakan di sini, dan itu sesuai dengan visi kementerian kami. Ekonomi Biru tidak hanya tentang bagaimana menjaga ekosistem tetapi juga bagaimana agar masyarakat mendapatkan nilai ekonomi dari ekosistem tersebut,” ujarnya.

Eliza Marthen Kissya atau akrab dipanggil Opa Eli pun mengungkapkan hal senada. Keuntungan ekonomi yang didapat warga di Pulau Haruku membuat upaya konservasi yang dilakukan melalui pendekatan adat menjadi berkelanjutan. Ini bisa dilihat dari kepatuhan warga terhadap banyaknya sasi (larangan), baik di laut, gunung, dan lainnya yang bertujuan menjaga sumber daya alam. Salah satunya adalah sasi laut yang berarti pelarangan aktivitas penangkapan ikan dalam kurun waktu tertentu. “Setiap kali masa buka sasi (membuka pembatasan atau larangan) laut, warga bisa tangkap ikan. Dan terakhir kemarin hasilnya mencapai 40 ton,” kata Opa Eli yang sudah 45 tahun menjadi Kepala Kewang.

Penerapan sasi laut itu sudah berlangsung sejak tahun 1600. Hasil yang melimpah setiap buka sasi laut membuat warga patuh terhadap berbagai kegiatan lain dalam aktivitas konservasi. Mulai dari penanaman bakau, penetasan burung maleo, hingga pembersihan sampah di pantai oleh anak-anak yang dididik menjadi kewang alias para penjaga alam. Termasuk di dalamnya penerapan pertanian organik yang menjadi salah satu tumpuan ekonomi warga. Beragam aktivitas konservasi tersebut, yang dirawat dan ditegakkan dengan pendekatan adat, dijalankan dengan serius karena warga telah merasakan dampak positifnya.

Adat juga menjadi bagian dari ketangguhan warga Pulau Sangihe, Kabupaten Kepulauan Sangihe. Menurut Jull Takaliuang, tiap kali ada anak yang baru lahir, orang tua dari anak itu akan menanam pohon. Ini menggambarkan betapa dekatnya hubungan warga dengan alam. Oleh karena itu, meskipun Sangihe rentan bencana alam, mulai dari gempa bumi, erupsi gunung api, hingga kenaikan air laut, warga bisa bertahan. “Bagi kami, Sangihe adalah ruang hidup. Segala upaya menjaga alam dan konservasi adalah perjuangan untuk mempertahankan ruang hidup dan penghidupan warga, yang sebagian besar adalah nelayan dan petani,” ujarnya.

Namun, saat ini ruang hidup warga Sangihe menghadapi ancaman bencana akibat aktivitas tambang emas ilegal. Tak hanya merusak hutan, aktivitas penambangan emas tersebut juga menghasilkan limbah yang membahayakan warga. Jull mengungkap, sekelompok perempuan di Sangihe sempat keracunan akibat mengonsumsi kerang dari kawasan hutan bakau yang tercemar limbah tambang emas. Ia berharap ada ketegasan dari pemerintah untuk menghentikan aktivitas tambang yang merusak lingkungan tersebut sehingga bisa mendorong ketangguhan masyarakat.

Risma Sunarty, anggota Dewan Pakar Forum Pengurangan Risiko Bencana Provinsi Aceh, mengingatkan bahwa dalam situasi bencana, perempuan adalah salah satu kelompok yang paling rentan. Oleh karena itu, aktivitas penanggulangan bencana mesti memperhatikan kepentingan dan kebutuhan perempuan. Penerapan perspektif Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) menjadi sangat diperlukan. “Jadi jangan posisikan mereka sebagai objek. Perempuan, kelompok penyandang disabilitas, mereka itu adalah pakar di bidangnya. Kita harus libatkan mereka sejak di perencanaan,” katanya.

Kolaborasi

Picture1 4

Para pegiat komunitas pesisir dalam sarasehan ini juga menunjukkan upaya kolaborasi dengan berbagai pihak dalam membangun ketangguhan. Pati Haryose menuturkan, upaya konservasi berbasis komunitas kerapkali terbentur dana. Ia pun mengalaminya sendiri sejak merintis Konservasi Penyu Jambak Sea Turtle Camp di Pantai Pasir Jambak lebih dari 10 tahun lalu. Saat mulai menanam bakau, dari kebutuhan 10 ribu bibit pohon, sebanyak 3.000 bibit di antaranya merupakan bantuan pihak swasta. Hal itu menyadarkannya akan arti penting kolaborasi.

“Saya lalu menjalin kerja sama dengan siapa saja yang punya visi sama. Jadi saya membantu beberapa komunitas di daerah lain, misalnya Sibolga dan Bengkulu Tengah, untuk melakukan konservasi. Kalaupun sinergi itu belum bisa diwujudkan secara ideal di tempat kami, tetap bagus kalau di komunitas lain bisa mencapainya. Karena bagaimanapun kita berkejaran dengan fenomena alam. Abrasi misalnya, hingga kini sudah memakan 50-100 meter daratan pantai kami. Di tempat lain masalahnya pun serupa,” jelasnya.

Berbagai cerita dari pegiat komunitas pesisir itu menunjukkan bahwa komunitas masyarakat di kawasan pesisir menghadapi risiko bencana yang serupa. Tidak saja risiko yang hadir dari aktivitas bumi, dan perubahan iklim, namun juga aktivitas manusia. Namun, mereka juga bisa saling berbagi dan berkolaborasi untuk menjadi tangguh bersama.

Menurut Kanjeng Pangeran Haryo Notonegoro, Lead Adviser untuk Program Regional SIAP SIAGA, kolaborasi dan berbagi pengetahuan antar komunitas pesisir itu akan bisa meluas ketika praktik-praktik lokal terdokumentasikan dengan baik. Tantangan utama bagi upaya pendokumentasian itu adalah bagaimana mengumpulkan, mengolah dan mendistribusikan pengetahuan tentang praktik-praktik lokal itu ke dalam suatu repositori yang mudah diakses. Sebab tak hanya bagi komunitas pesisir di Indonesia, praktik-praktik baik itu juga akan berguna bagi komunitas pesisir di negara lain. Dengan tingginya risiko bencana di kawasan pesisir Indonesia, negara lain pun ingin mengetahui apa yang sudah dikerjakan di Indonesia agar bisa ikut belajar guna menyusun kebijakan penanggulangan bencana dan mendorong ketangguhan di wilayahnya masing-masing.

Terkait dengan itu, BNPB dengan dukungan dari Program SIAP SIAGA saat ini tengah mengembangkan Perangkat Resiliensi Pesisir atau Coastal Resilience Toolkit (CRT). “Kalau sudah ada dalam satu repositori, dan orang bisa mengakses pengetahuan itu, maka ketika ada pihak atau komunitas yang ingin melakukan hal yang sama tidak perlu mulai dari nol,” katanya.

     

logo siapsiaga white

Kami akan senang mendengar dari Anda.
Jangan ragu untuk menghubungi menggunakan detail di bawah ini.

Alamat:
SIAP SIAGA
Treasury Tower 59th Floor, District 8 SCBD Lot 28, Jl. Jend. Sudirman Kav 52 – 53
Jakarta Selatan, 12190, Indonesia
Telepon: +6221 7206616
Email: siap.siaga@thepalladiumgroup.com