Endy berharap, meningkatnya pemahaman tentang kebencanaan akan membuat perencanaan dan regulasi dari level kabupaten hingga desa tidak lagi sekadar salin tempel yang dibuat tahun-tahun sebelumnya. Anggaran pun dapat lebih tepat dan berguna untuk menghindarkan warga dari ancaman bencana yang sudah mulai dialami berdasarkan profil risiko bencana yang akurat termasuk prakiraan iklim. Apalagi, anggaran desa di wilayahnya hanya mengandalkan dana desa dan Alokasi Dana Desa (ADD) dari kabupaten karena sangat minimnya Pendapatan Asli Desa. “Bukan minim lagi, tapi di bawanya” ujarnya.

Gagal panen akibat kekeringan yang terus berulang di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah lokal dan masyarakat. Salah satu penyebab utama dari bencana kekeringan ini adalah kemampuan warga dan para pemangku kepentingan yang belum memadai dalam mengidentifikasi sekaligus mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam perencanaan daerah dan desa.
Endy Daniel S.N. Oematan, Sekretaris Camat Amabi Oefeto Timur mengungkapkan, perencanaan desa-desa di wilayahnya memprioritaskan bidang pemberdayaan masyarakat, antara lain dengan pembelian bibit tanaman pangan. Masalahnya, perencanaan yang dilakukan cenderung sama setiap tahun, baik jenis bibit, jumlah hingga waktu pembelian. “Padahal kalau melihat periode dan curah hujan saja belakangan sudah sangat berbeda, makin tidak bisa diprediksi seperti dulu. Akhirnya yang terjadi adalah gagal panen yang berulang,” ujarnya.
Sebagai contoh, pada tahun 2023 lalu penyiapan lahan dan pembelian bibit jagung dilakukan di akhir tahun sesuai kebiasaan sebelumnya. Mengingat sebagian besar lahan tanam di Kabupaten Kupang merupakan lahan kering yang mengandalkan hujan, kebiasaan ini menyesuaikan dengan pola curah hujan ‘normal’. Namun, ketika el nino melanda dan berdampak pada kekeringan panjang pada akhir tahun 2023 dan awal 2024, warga gagal panen. Warga pun terpaksa mengandalkan umbi-umbian yang tidak begitu terdampak kekeringan. “Tidak sedikit yang akhirnya merelakan menjual ternak yang dimiliki agar bisa membeli makanan,” tambah Endy.
Natan, Kepala Desa Batuinan, mengungkapkan ancaman utama di desanya adalah kekeringan. Dampak langsung yang dialami tiap tahun adalah kekurangan air bersih dan gagal panen. Dampak ini menurutnya semakin lama semakin berat. “Kami tidak berani mengebor sumur terlalu dalam karena potensi longsornya besar,” ujarnya.
Natan menyatakan bahwa pihak pemerintah desa secara rutin membagikan bibit jagung sebanyak empat kilogram untuk setiap kepala keluarga (KK) yang berjumlah total ada 106. Namun mengingat lokasinya berada di pesisir, warga Batuinan harus mengalami badai tropis setiap tahun yang tidak hanya mengancam tanaman warga, namun juga kerap merusak infrastruktur yang ada.
Pemahaman kebencanaan
Minimnya pengetahuan tentang kebencanaan dan perubahan iklim, termasuk tentang bagaimana menyikapi dan menyiasatinya, membuat warga bahkan pemerintah desa untuk tidak memiliki pilihan lain. Menurut Endy, jangankan bicara soal mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke perencanaan desa, mengalami rawan pangan saja masih belum bisa membuat mereka menghubungkannya dengan perubahan iklim. “Tidak punya bayangan bagaimana cara membaca perubahan iklim, lalu menjadikannya dasar membuat keputusan terkait belanja bibit, mengolah lahan dsb,” kata Endy.

Ketergantungan warga desa pada pemerintah desa begitu besar dalam keputusan-keputusan di berbagai bidang. Padahal, ketergantungan pemerintah desa pada pemerintah kabupaten juga besar terutama di sisi regulasi seperti klarifikasi untuk penggunaan dana desa. Meskipun dalam aturan pemerintah pusat dapat menggunakan dana desa untuk kebencanaan dalam arti luas, pemerintah desa tetap tidak akan memasukannya dalam perencanaan desa selama pemerintah kabupaten belum membuat regulasi turunannya.
Endy berharap, meningkatnya pemahaman tentang kebencanaan akan membuat perencanaan dan regulasi dari level kabupaten hingga desa tidak lagi sekadar salin tempel yang dibuat tahun-tahun sebelumnya. Anggaran pun dapat lebih tepat dan berguna untuk menghindarkan warga dari ancaman bencana yang sudah mulai dialami berdasarkan profil risiko bencana yang akurat termasuk prakiraan iklim. Apalagi, anggaran desa di wilayahnya hanya mengandalkan dana desa dan Alokasi Dana Desa (ADD) dari kabupaten karena sangat minimnya Pendapatan Asli Desa. “Bukan minim lagi, tapi di bawanya” ujarnya.
Selarasnya desa dan kabupaten
Circle of Imagine Society (CIS) Timor, sebuah lembaga kemanusiaan yang berbasis di Nusa Tenggara Timur, mencermati realitas ini dan kemudian merespons dengan merancang program Membangun Ketangguhan Masyarakat yang Berkelanjutan dalam Kerangka Desa Tangguh Bencana (Destana). Program yang berdurasi delapan bulan tersebut akan didukung oleh Program SIAP SIAGA dan dijalankan di Kabupaten Kupang. Sebanyak lima dari 176 desa akan menjadi percontohan implementasi pengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan Adaptasi Perubahan Iklim (API) ke dalam perencanaan desa.

“Selain bekerja sama dengan pemerintah desa untuk memanfaatkan dana desa sebaik-baiknya untuk kegiatan kesiapsiagaan bencana, melalui program ini kami juga akan mendorong dan bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Kupang untuk menyusun dokumen terkait kebencanaan. Upaya ini merupakan wujud komitmen terhadap program, anggaran, dan kebijakan Pemerintah Kabupaten Kupang untuk mendukung ketangguhan desa,” kata Ephy Pellokila, Advocacy Officer CIS Timor.
Ephy membenarkan bahwa umumnya warga dan bahkan perangkat desa di Kabupaten Kupang belum memiliki pemahaman utuh tentang kebencanaan, apalagi tentang integrasi PRB ke dalam perencanaan. Menurutnya memang sudah ada beberapa pihak yang membahas soal kebencanaan di wilayah tersebut, tetapi baru sebatas situasi tanggap darurat. “Ya misalnya kalau ada badai, gempa, banjir itu mereka harus mengungsi ke mana. Terus nanti pembagian logistiknya bagaimana, semacam itu,” tambahnya.
Ancaman bencana di Kabupaten Kupang menurutnya meliputi bencana geologi seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, serta bencana hidrometeorologi seperti cuaca ekstrem, puting beliung, banjir, kekeringan serta kebakaran hutan dan lahan. Badai besar terakhir yang pernah menimpa wilayah tersebut adalah Badai Seroja pada 2021, berdampingkan dengan ancaman siklon tropis seperti Siklon 94S pada awal Maret 2024.
Ephy menyatakan secara nasional, regulasi yang ada memungkinkan dana desa digunakan untuk kebencanaan. Namun, ketiadaan regulasi di tingkat kabupaten membuat pemerintah desa, andai sudah punya pemahaman sekalipun, tidak berani membuat perencanaan anggaran yang di luar kebiasaan.
Itu sebabnya dalam program ini, CIS Timor secara paralel akan melakukan advokasi di tingkat kabupaten dan desa. Ephy mengatakan, saat ini Pemerintah Kabupaten Kupang memang telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 2022 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. “Tetapi isi dalam perda tersebut masih sangat umum. Butuh setidaknya tiga peraturan bupati sebagai pedoman teknis pelaksanaan perda tersebut, di samping juga menyelesaikan dokumen-dokumen terkait PRB lainnya,” ucapnya.
Program ini dilaksakanakan di Desa Tanah Putih di Kecamatan Kupang Timur; Desa Batuinan dan Uiasa di Kecamatan Semau; dan Desa Enolanan dan Oemolo di Kecamatan Amabi Oefeto Timur. Harapannya setelah program berakhir, desa-desa tersebut siap merancang perencanaan anggaran desa untuk 2025 yang sudah merujuk dokumen-dokumen kebencanaan. “Pemkab Kupang pun sudah bisa menyelesaikan tiga Peraturan Bupati turunan perda kebencanaan, sehingga dengan adanya rujukan regulasi dan contoh di lima desa, desa-desa yang lain akan terpacu untuk melakukan hal yang sama. Apalagi kami akan melibatkan para pendamping desa untuk mempercepat proses,” kata Ephy.
Dari sisi mata pencaharian, melalui program ini, warga desa akan didorong untuk melakukan budidaya hortikultura di pekarangan rumahnya. Hal ini untuk memperkuat antisipasi kekeringan, mengingat pertanian di Kabupaten Kupang dilakukan pada lahan yang luas sehingga tidak hanya membutuhkan banyak air namun juga rentan terhadap anjloknya harga produk pertanian. Diharapkan dengan pertanuan skala kecil yang hemat air, petani dapat tetap berproduksi di musim kemarau dan setidaknya memenuhi kebutuhan gizi keluarganya.

Program SIAP SIAGA adalah Kemitraan Australia-Indonesia yang bertujuan untuk menguatkan ketangguhan bencana di Indonesia dan Kawasan Indo-Pasifik
HUBUNGI KAMI
Kami akan senang mendengar dari Anda.
Jangan ragu untuk menghubungi menggunakan detail di bawah ini.
Alamat:
SIAP SIAGA
Treasury Tower 59th Floor, District 8 SCBD Lot 28, Jl. Jend. Sudirman Kav 52 – 53
Jakarta Selatan, 12190, Indonesia
Telepon: +6221 7206616
Email: siap.siaga@thepalladiumgroup.com