Siap Siaga

Pemerintah Perlu Sambut Inisiatif Komunitas Sungai

Sejumlah komunitas sungai di Indonesia telah terlibat aktif dalam upaya pelestarian daerah aliran sungai atau DAS di wilayahnya, sekaligus mengurangi risiko bencana yang hadir dari kerusakan daerah aliran sungai tersebut. Untuk itu, pemerintah daerah maupun pusat perlu menyambut insiatif tersebut dengan memberikan dukungan nyata sehingga masyarakat di kawasan DAS menjadi semakin tangguh.

Inspirasi dan pembelajaran dari upaya sejumlah komunitas sungai menjadi inti dari Sarasehan Komunitas Daerah Aliran Sungai yang diadakan sebagai rangkaian acara puncak Hari Kesiapsiagaan Bencana atau HKB nasional di Pendapa Kecamatan Karangbinangun, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Selasa (16/5). Sarasehan bertajuk “Ketangguhan Komunitas Daerah Aliran Sungai (DAS)” itu menghadirkan sejumlah pembicara, yakni Kaharuddin Muji dari DAS Jeneberang di Sulawesi Selatan; Usman Firdaus dari DAS Ciliwung di DKI Jakarta; I Gusti Rai Ari Temaja dari DAS Tukad Bindu di Bali; Robah dari DAS Bengawan Solo di Gresik, Jawa Timur; Jana Marlina dari DAS Ogan di Sumatera Selatan; Vivi Norvika Hariyantini dari DAS Kapuas di Kalimantan Barat; serta Arif Rahmadi Haryono dari Dompet Dhuafa.

Dipandu Benedicta R Kirana dari Program SIAP SIAGA selaku moderator, sarasehan ini juga menghadirkan para penanggap yakni Guru Besar Universitas Pertahanan Syamsul Maarif, ahli sumber daya air Universitas Gadjah Mada Agus Maryono, Deputi Bidang Logistik dan Peralatan Bada Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan, serta Gender Specialist SIAP SIAGA Lutri Handayani. Sarasehan ini diadakan BNPB dengan dukungan dari Program SIAP SIAGA yang merupakan program kerjasama Pemerintah Indonesia dan Australia.

Direktur Kesiapsiagaan BNPB Pangarso Suryotomo saat membuka sarasehan mengatakan, Sarasehan Komunitas Sungai ini diadakan sebagai salah satu upaya berbagi pengetahuan dan pengalaman dari komunitas sungai. Harapannya, sarasehan ini bisa menginspirasi berbagai pihak terkait untuk turut membangun ketangguhan masyarakat sungai, baik dengan mendorong pengembalian fungsi sungai, maupun mendorong replikasi pembelajaran yang dibagikan oleh komunitas sungai dalam sarasehan ini. “Sarasehan ini diharapkan bisa berkontribusi di situ, agar kita punya dokumen pembelajaran baik dari masyarakat di DAS,” katanya.

Makna ketangguhan

Usman Firdaus dari Komunitas Masyarakat Peduli Ciliwung (Mat PECI), Jakarta, menuturkan, mengurus sungai tidak bisa dilakukan secara sepenggal-sepenggal. Ketangguhan masyarakat di sekitar daerah aliran sungai harus dibangun mulai dari hulu hingga hilir. Di Sungai Ciliwung, misalnya, upaya membangun ketangguhan masyarakat itu dilakukan melalui kegiatan edukasi terkait cara menghadapi bahaya sungai hingga menjaga kelestarian sungai. “Prinsipnya kalau kita menjaga alam, alam akan menjaga kita,” ucapnya.

Di DAS Ciliwung, upaya menghadapi bencana itu dilakukan dengan membangun sistem peringatan dari hulu sampai hilir. Selain itu, komunitas Mas PECI melakukan kegiatan ekoeduwisata yang menggunakan pendekatan lingkungan, edukasi dan ekonomi bekerja sama dengan berbagai pihak. “Upaya menjaga sungai dan mengurangi risiko bencana itu akan lebih mudah dilakukan dan menampakkan hasil ketika ada kerja sama pentahelix, yakni adanya keterlibatan masyarakat, pemerintah, akademisi, dunia usaha dan media massa,” tandasnya.

Kaharuddin Muji dari DAS Jeneberang di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, selaku pegiat forum Komunikasi Peduli Sumber Daya Air Sulawesi Selatan mengatakan, berdasarkan pengalamannya, ketangguhan adalah bagaimana suatu komunitas bisa memahami, mengetahui, untuk kemudian siap dan sigap dalam menghadapi bencana sehingga hal itu menjadi budaya. Agar bisa menghadapi bencana, masyarakat perlu memahami risiko bencana yang akan terjadi, memantau bencana, serta menyebarkan informasi kebencanaan.

Di DAS Jeneberang, kesadaran masyarakat akan pentingnya ketangguhan menghadapi bencana terpantik oleh peristiwa patahan Gunung Bawangkaraeng pada 2004, yang melepaskan material sekitar 300 juta meter kubik ke sungai sehingga menimbulkan banjir bandang yang memakan korban jiwa. Pengalaman itu mendorong masyarakat untuk memahami risiko bencana yang berkaitan dengan sungai, sehingga mereka siap menghadapi bencana. “Kami menyepakati konsep peringatan dini berbasis masyarakat yang dilakukan dari kami, oleh kami, untuk kami, sehingga ketika terjadi bencana kami sudah tahu apa yang harus dilakukan, sehingga jika terjadi bencana tidak terjadi koban lagi,” katanya.

Pengalaman berbeda dituturkan Jana Marlina. Menurut dia, Komunitas Perempuan Peduli Sungai Musi (KPPSM) baru berdiri pada 2020, setelah para pendirinya terlibat dalam pementasan Tari Rahim Musi di Sungai Musi pada tahun yang sama. Pementasan itu membuka mata mereka bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar sungai perlu lebih peduli pada sungai. Terlebih, saat ini masyarakat di pinggir sungai Musi masih mengandalkan air sungai tersebut untuk kebutuhan air harian, seperti untuk mandi dan mencuci pakaian. Maka, kelompok perempuan menjadi pihak yang terdampak langsung ketika kualitas air sungai menurun. Untuk itu, dalam wadah KPPSM, Jana dan rekan-rekannya berupaya membersihkan sungai dan lingkungan di sekitar sungai setidaknya sekali dalam seminggu. “Kami juga mengolah sampah dengan memilahnya, lalu membuat kompos. Kami juga mengajak warga lain untuk terlibat,” ujarnya.

Adapun bagi Vivi Norvika Hariyantini dari DAS Kapuas, ketangguhan berarti pergerakan komunitas untuk menjaga sungai dengan tidak membuang sampah di sungai. Ketangguhan itu dibangun melalui pelatihan kesiapan bencana banjir, serta kerja sama dengan para pihak terkait untuk mengatasi masalah banjir, mulai dari kawasan hulu hingga ke hilir.

Terkait dengan itu, lanjut Vivi, Sanggar Cinta Tanah Air Khatulistiwa (Sangsakha) berupaya membangun ketangguhan melalui berbagai kegiatan seperti pelatihan kebencanaan, kampanye jaga lingkungan ke sekolah dengan menyasar sekaligus melibatkan pelajar dan mahasiswa, serta membersihkan sungai dan menanam pohon. Selain itu, Sangsakha juga berupaya melibatkan masyarakat adat dalam proses itu agar mereka bisa belajar tentang bagaimana masyarakat adat hidup selaras dengan alam secara turun temurun sehingga telah memiliki ketangguhan dalam menghadapi bencana.

Edukasi dan pemberdayaan

Di kawasan Tukad Bindu, Kota Denpasar, Bali, nilai-nilai kearifan lokal juga mewarnai upaya masyarakat dalam menjaga sungai. Prinsip Tri Hita Karana, yakni hidup harmonis dengan sesama manusia, alam dan sang pencipta, menjadi panduan bagi warga untuk bersama-sama mengatasi persoalan sampah agar tidak berakhir di sungai.

Menurut I Gusti Rai Ari Temaja atau Gung Nik dari Komunitas Peduli Sungai (KPS) Denpasar, upaya untuk bersama-sama menjaga sungai itu dimulai pada 2010. Waktu itu, kondisi Tukad Bindu memprihatinkan karena dipakai warga sebagai tempat sampah. Maka, langkah awal yang diambil adalah membuat kesepakatan pengelolaan sampah di masing-masing banjar menggunakan pendekatan hukum adat, membangun bank sampah, serta mendirikan sekolah sampah guna meningkatkan kesadaran akan sampah. “Upaya-upaya tersebut kami bangun dengan mempertimbangkan aspek ekonomi. Maka, Tukad Bindu menjadi wahana ekowisata, sehingga ketangguhan dan kemandirian ekonomi menjadi satu kesatuan,” jelasnya.

Sedangkan bagi Robah, Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Pangkahkulon, Gresik, Jawa Timur, ketangguhan bermakna sedia payung sebelum hujan. Bagi nelayan seperti dirinya, bencana adalah ketika biota laut berupa ikan maupun udang di laut habis. Bencana semacam itu sudah mulai terasa, yakni ketika hasil tangkapan ikan dan udang di wilayah muara Bengawan Solo menurun drastis. Jika semula hasil melaut selama 4 – 6 bulan bisa disimpan untuk memenuhi kebutuhan keluarga selama 2 tahun, kini hasil dari melaut hanya cukup untuk kebutuhan harian.

Menghadapi situasi itu, nelayan tak mau tinggal diam. Robah bersama rekan-rekannya pun mulai bergerak untuk menghijaukan kembali hutan mangrove di kawasan Ujungpangkah yang rusak hingga 60 persen. Pemulihan hutan mangrove akan memulihkan ekosistem biota laut sehingga hasil tangkapan akan kembali pulih. Hutan mangrove juga akan melindungi pantai dari abrasi. Upaya itu dilakukan pelan-pelan sejak 2010. “Sampai sekarang sudah 500.000 pohon yang kami tanam di lahan basah seluas sekitar 200 hektar. Ke depan, kami ingin membangun wisata mangrove berbasis konservasi,” tambahnya.

Arif Rahmadi Hariono dari Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa mengatakan, berbicara tentang ketangguhan berarti bicara tentang manajemen risiko dalam konteks pembangunan dan perubahan iklim. Risiko bisa berubah, namun yang terpenting adalah bagaimana kesiapsiagaan ketika risiko-risiko itu muncul. Oleh karena itu, penting untuk membicarakan edukasi lingkungan yang berjalan beriringan dengan pemberdayaan masyarakat. “Di Jakarta kami mencoba membangun kepedulian terkait waste management dan early warning system, sembari membangun budaya masyarakat agar kembali peduli pada sungai,” ujarnya.

Perencanaan terpadu

Paparan singkat dari para pembicara sarasehan tersebut mendapat tanggapan positif dari para penanggap. Guru Besar Universitas Pertahanan Syamsul Maarif, misalnya, mengapresiasi upaya yang telah dilakukan komunitas sungai dari sejumlah wilayah di Indonesia tersebut. Melihat inisiatif komunitas sungai, menurutnya pemerintah pusat perlu menyambut dan memberikan dukungan nyata kepada komunitas sungai.

“Bagaimana komunitas-komunitas ini bisa terhubung dengann pemerintah. Ini masyarakat sudah menyampaikan. Bagaimana menghargai tidak hanya dengan puja puji. BNPB perlu membuat rencana dan memasukkan ini semua,” tandasnya.

Ahli sumber daya air Universitas Gadjah Mada Agus Maryono menilai bahwa yang dilakukan para pembicara bersama komunitasnya masing-masing sangat luar biasa. Atas inisiatif sendiri, mereka justru telah menerapkan sistem pengelolaan air terpadu. Pengelolaan terpadu semacam ini yang sangat penting dalam pengelolaan kawasan DAS. “Justru yang di kampus dan pemerintah itu belum komprehensif pendekatannya. Jadi perguruan tinggi dan pemerintah perlu didorong untuk berpikir integrated dalam pengelolaan DAS. Semua gerakan mitigasi bencana juga harus diarahkan ke kesejahteraan, bukan hanya ketangguhan. Jadi menanggulani bencana sekaligus menyejahterakan masyarakat,” katanya.

Menurut Deputi Bidang Logistik dan Peralatan BNPB Lilik Kurniawan, sarasehan semacam ini menjadi penting karena bisa membuka mata bahwa setiap jengkal tanah berkaitan dengan DAS. Ketika sistem aliran sungai rusak, dampaknya sangat luas. Tidak hanya dampak berupa banjir, namun juga ke biota laut hingga kualitas air. Sarasehan sungai kali ini sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat sudah bergerak untuk merespons situasi tersebut. “Kalau masyarakat sudah bergerak, pemda dan pusat harus memfasilitasi. Ini kita perlu diskusikan agar muncul program terkait ini, sehingga bisa mengurangi risiko,” ucapnya.

Adapun Gender Specialist SIAP SIAGA Lutri Handayani mengapresiasi keterlibatan kelompok perempuan dalam sarasehan ini, yang menunjukkan bahwa perempuan berperan penting dalam pengelolaan DAS. Ia menekankan bahwa setiap upaya ketangguhan komunitas DAS perlu melibatkan semua kelompok di masyarakat, terlebih kelompok yang memiliki kerentanan tinggi. Untuk itu, pelibatan perempuan, anak dan kelompok penyandang disabilitas tidak boleh dilupakan.

“Ketika bicara tentang DAS, bicara tentang tata ruang kawasan, penting untuk selalu diingat soal bagaimana kita bisa membangun kolaborasi tanpa meninggalkan perempuan, anak dan kelompok penyandang disabilitas,” tandasnya.