Siap Siaga

Penguatan FPRB untuk Mendorong Ketangguhan Bali

Penguatan kelembagaan membuat Forum Pengurangan Risiko Bencana atau FPRB di Provinsi Bali menjadi kian berkembang baik secara kapasitas organisasi maupun jaringannya. Hal itu diharapkan bisa semakin memantapkan perannya dalam mendorong ketangguhan di Pulau Dewata.

Pendiri sekaligus Ketua Pertama FPRB Bali I Gede Sudiartha mengatakan, ketika FPRB Bali dibentuk, jumlah pegiat kebencanaan di Bali relatif kecil jika dibandingkan dengan banyaknya risiko bencana yang ada. Mereka berasal dari unsur pemerintah maupun non-pemerintah. “Selain jumlahnya yang relatif kecil, semuanya itu tidak terkoordinasi satu sama lain,” katanya, saat dihubungi Kamis (5/10).

Sebagian di antara mereka, termasuk Gede, telah lama aktif dalam respons-respons kebencanaan baik melalui Palang Merah Indonesia (PMI), institusi pemerintah, maupun lembaga maupun kelompok lainnya. Seiring waktu setelah kerap terlibat bersama dalam respons bencana, mereka mulai saling terhubung dan membentuk forum komunikasi sebagai wadah untuk saling berbagi informasi.

Pada 2011, Gede mendapat informasi bahwa Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) secara resmi akan mengatur forum relawan kebencanaan yang diberi nama FPRB. Setelah berdiskusi dengan para pegiat kebencanaan di forum komunikasi, mereka pun sepakat membentuk FPRB Bali. “Ya kita ikut saja nomenklatur yang sudah ditentukan BNPB agar ada keselarasan dan tidak perlu banyak entitas berbeda. Yang penting bekerja nyata,” imbuh Gede.

Kerja nyata dan selaras inilah yang menjadi pegangan para anggota FPRB Bali di awal-awal berdirinya. Seluruh biaya operasional berasal dari kantong pribadi para anggota. Keterbatasan sumber daya baik dana maupun manusia tidak memengaruhi komitmen para anggota untuk terus membantu upaya mewujudkan Bali yang tangguh bencana. Sejak awal, mereka mendampingi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali dalam melakukan pelatihan-pelatihan bencana, respons tanggap darurat, hingga membantu pengecekan kondisi sistem peringatan dini kebencanaan. “BPBD Bali meski diresmikan pada tahun 2011, namun kelengkapan organisasinya baru terjadi setahun berikutnya,” ujar Gede.

Mitra Strategis BPBD

Relasi yang baik dengan BPBD Bali itu terjalin hingga sekarang. FPRB Bali memosisikan diri sebagai mitra pemerintah, dalam hal ini melalui BPBD Bali. “Dengan kerja selaras sebagai mitra, ketika kami menyampaikan masukan, jadinya lebih bisa diterima oleh BPBD karena memang telah membuktikan komitmen untuk bekerja bersama,” lanjut Gede.

Gede menggarisbawahi bahwa meski menjadi mitra pemerintah, FPRB Bali tidak pernah menerima anggaran dari pemerintah. Dengan begitu, independensi FPRB Bali tetap terjaga. Termasuk setelah akhirnya FPRB Bali dikukuhkan keberadaannya melalui Surat Keputusan Gubernur tentang Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Forum Pengurangan Risiko Bencana Provinsi Bali. “Bagi kami meskipun secara regulasi SK tersebut penting sebagai payung hukum, namun tidak lantas ada perbedaan apalagi menyangkut dana. Dalam SK memang ada klausul bahwa anggaran semua kegiatan dibebankan pada pemerintah, namun meski tidak menerimanya buat kami bukan masalah. Tidak ada bedanya, tetap terus bekerja,” tegasnya.

Pelibatan Multipihak

Gede mengakui, meskipun FPRB tetap bekerja, baik sebelum maupun sesudah ada payung hukum, beragam keterbatasan sumber daya membuat gerak dan capaiannya menjadi tidak bisa cepat dan luas. Masuknya program SIAP SIAGA ke Bali menjadi titik baliknya. Dukungan program dari SIAP SIAGA membuat gagasan, konsep, gerak, dan capaian FPRB Bali terakselerasi. Secara kelembagaan pun FPRB makin kuat dan lengkap dengan penyusunan beragam pedoman dan payung hukum termasuk SK Gubernur tersebut.

Program SIAP SIAGA mulai berjalan di Bali dengan fokus menjadi mitra pendamping FPRB Bali. Langkah awal yang dilakukan adalah identifikasi dan proses klarifikasi peran, tanggung jawab dan struktur FPRB Bali. Selain itu, upaya lainnya adalah memperluas pelibatan unsur masyarakat dalam FPRB Bali, dengan menerapkan perspektif gender, disabilitas dan inklusi sosial atau GEDSI.

Menurut Gede, sejak 2018 sebenarnya sudah ada sejumlah kelompok masyarakat yang bergabung di FPRB Bali, mulai dari Forum Perguruan Tinggi Pengurangan Risiko Bencana, Forum Ikatan Ahli Bencana Indonesia, dan Forum Relawan Kebencanaan. Keberadaan kelompok masyarakat itu menunjukkan bahwa FPRB Bali mendapat dukungan dari masyarakat dengan beragam latar belakang. Hal itu tentu akan berdampak positif pada gerakan FPRB Bali. Oleh karena itu, penerapan aspek GEDSI sangatlah penting bagi FPRB Bali.

Komposisi pentahelix dalam FPRB Provinsi Bali semakin lengkap dengan dirangkulnya Pusat Penyandang Disabilitas (Puspadi), Yayasan Gaya Dewata, Majelis Desa Adat, Kelompok perempuan adat (Pasikian Paiketan Krama Istri/Pakis), kelompok pemuda adat (Paiketan Yowana) dan Paiketan Pecalang. Kelompok-kelompok tersebut mewujudkan keterwakilan GEDSI yang memperkuat peran FPRB Provinsi Bali..

Upaya pelibatan berbagai unsur masyarakat itu terus berlanjut. Pada 2021, SIAP SIAGA memfasilitasi komunikasi antara BPBD Bali dan FPRB Bali dengan pelau usaha dan media. Hal itu berujung pada terbentuknya Forum Wartawan Peduli Bencana (Wapena) serta Forum Kemitraan Dunia Usaha Tangguh Bencana (FKDUTB). Pada 2022, upaya pelibatan kian meluas dengan menggandeng Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi) yang kemudian bersama kelompok perempuan yang sudah lebih dulu bergabung di FPRB membentuk Aliansi Perempuan Tangguh Bencana. Dengan begitu, lengkap sudah elemen pentahelix dalam FPRB Bali.

Dengan bertambahnya kelompok masyarakat, bertambah pula potensi dan sumber daya yang dimiliki. Melalui dukungan SIAP SIAGA, FPRB Bali bersama BPBD Bali mulai mendorong terbentuknya FPRB di kabupaten/kota di Bali. Dengan sumber daya yang kuat itu, sepanjang 2021 – 2022 terbentuklah FPRB di sembilan kabupaten/kota di Bali.

“Aktivitas dan langkah-langkah FPRB Bali cukup terakselerasi ketika SIAP SIAGA masuk dan mendukung melalui pendampingan dan program. Apalagi posisi dan kapasitas BPBD Bali juga menguat sehingga kolaborasi untuk bergerak ke kabupaten/kota jadi lebih cepat,” terang Gede.

Pengakuan terhadap kontribusi FPRB Bali terhadap ketangguhan Bali pun muncul, misalnya melalui Rumah Resiliensi Indonesia yang dihadirkan saat Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) ketujuh pada tahun 2022 lalu. FPRB Bali dipercaya untuk merancang dan mengelola Rumah Resiliensi Indonesia tersebut, yang sekaligus digunakan sebagai ajang berjejaring dengan pihak-pihak terkait baik di tingkat nasional maupun internasional.

Penguatan Kelembagaan

Kerja bersama berbagai unsur tersebut juga mampu menghasilkan perubahan perspektif sekaligus kebijakan terkait kebencanaan, baik berupa regulasi maupun dokumen acuan kebencanaan. Ketua FPRB Bali I Putu Suta Wijaya mengatakan, adanya dokumen-dokumen itu juga merupakan bagian penting bagi upaya penguatan kelembagaan.

Putu mengingat, ketika Program SIAP SIAGA mulai menjadi mitra FPRB Bali, salah satu bentuk awal dukungan yang diberikan waktu itu adalah penyusunan pedoman Forum Relawan Pengurangan Risiko Bencana yang merupakan bagian dari FPRB Bali. “Beberapa tahun kemudian, kami menyadari bahwa FPRB sebagai induk justru malah belum memiliki dokumen serupa. SIAP SIAGA kemudian kembali mendampingi hingga akhirnya pada tahun 2022 FPRB Bali secara dokumen kelembagaan sudah lengkap termasuk AD/ART,” katanya.

Menurut Putu, aspek penguatan kelembagaan selama ini terlewat karena FPRB Bali benar-benar berbasis kerelawanan. Penguatan kelembagaan sangat penting agar posisi FPRB semakin strategis, sekaligus unggul secara kapasitas. “Bila secara keorganisasian sudah mantap, maka relasi yang terbentuk dengan pihak lain bisa semakin berkelanjutan,” tambahnya.

Putu baru saja terpilih sebagai Ketua FPRB Bali pada 15 September 2023 dan akan menjabat selama tiga tahun hingga 2026. Salah satu fokus Putu sebagai ketua baru adalah realisasi kemandirian FPRB secara organisasi dan merintis keberlanjutan secara sumber daya. “Secara kemandirian misalnya dimulai dengan susunan kepengurusan periode ini yang tidak menyertakan unsur pemerintah,” ujar Putu.

Putu menegaskan, tidak disertakannya unsur pemerintah dalam struktur pengurus FPRB 2023 – 2026 merupakan kesepakatan berbagai pihak. Meski tidak ada lagi aunsur pemerintah di dalamnya, pola kolaborasi FPRB Bali dengan pemerintah khususnya BPBD Bali tidak akan berubah. Justru ini menjadi bukti telah terjadinya perubahan paradigma, bahwa pengurangan risiko bencana bukan hanya urusan BPBD melainkan seluruh elemen warga.

Fasilitasi dari SIAP SIAGA untuk koordinasi, kolaborasi, dan advokasi membuat FPRB lebih siap secara kelembagaan sehingga bisa fokus untuk melakukan berbagai inovasi. Salah satu inovasi terakhir adalah pelibatan perguruan tinggi melalui Kampus Siaga Bencana. Penanda resminya adalah penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah VIII dengan Pemprov Bali.

Kampus Siaga Bencana memiliki program pemberdayaan masyarakat, salah satunya adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Pemberdayaan Masyarakat. Salah satu programnya adalah pembentukan Desa Tangguh Bencana (Destana). Keterlibatan mahasiswa dari berbagai kampus diharapkan bisa semakin mendorong ketangguhan warga dan mempercepat pembentukan Destana.

Upaya lain dalam kemandirian dan keberlanjutan bagi FPRB Provinsi Bali adalah dengan mendirikan koperasi. Dipilihnya koperasi karena semangat kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi jiwa koperasi sangatlah sesuai dengan misi kemanusiaan yang diemban oleh FPRB Provinsi Bali.

Koperasi Bali Tangguh Sejahtera (Batara) didirikan sebagai cara strategis memelihara kelestarian FPRB Provinsi Bali dan bertujuan menciptakan kesejahteraan para anggotanya. Salah satu contoh istimewanya adalah perlindungan jiwa ketika menjadi anggota Koperasi Batara. Melalui cara strategis ini FPRB Provinsi Bali secara mandiri mampu memberikan perlindungan kepada setiap anggotanya termasuk para relawan yang tergabung dalam Koperasi Batara.