Siap Siaga

Menjamin Kualitas Layanan Dasar demi Ketangguhan yang Berkelanjutan

Terpenuhinya kebutuhan dasar warga baik saat pra, darurat, maupun pascabencana menjadi hak sekaligus fondasi kesintasan dan ketangguhan warga. Itulah kenapa sinergi para pemangku kepentingan sangat diperlukan dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut.

Upaya pemenuhan kebutuhan dasar itu menjadi topik utama yang didiskusikan dalam rangkaian kegiatan SADAR-PB III yang diselenggarakan dalam format hybrid pada Rabu (6/9) dan Kamis (7/9) di Jakarta. Tema acara ini adalah “Membangun Ketangguhan Lokal: Percepatan Pencapaian SPM Sub Urusan Bencana (SPM-SUB) dan Desa Tangguh Bencana (Destana) di Daerah”.

Sesuai dengan tema yang dipilih, rangkaian SADAR PB III yang difalisitasi Program SIAP SIAGA ini menjadi ruang bagi para pihak terkait untuk saling berbagi pengetahuan dan pembelajaran terkait upaya mendorong penguatan kapasitas penanggulangan bencana di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya yang dilakukan dalam upaya percepatan Standar Pelayanan Minimum Suburusan Bencana (SPM-SUB) dan Destana.

Rangkaian acara pada hari pertama difokuskan untuk membahas pelaksanaan SPM-SUB yang dilakukan dalam dua sesi. Pembicara untuk sesi pertama yang mengambil tema “Membangun Ketangguhan Lokal: Percepatan Pencapaian SPM Suburusan Bencana” antara lain Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah III Dirjen Bina Bangda Kemendagri Erliani B. Lestari, Analis Kebijakan Ahli Madya Dit. MPBK Ditjen Bina Adwil Kemendagri Frederick Simatupang, dan Direktur Sistem Penanggulangan Bencana BNPB Agus Riyanto.

Percepatan capaian SPM-SUB menjadi hal yang penting karena dapat menjamin pemenuhan kebutuhan dasar warga, yang mencakup bidang yang luas dan membutuhkan perencanaan pembangunan termasuk anggaran yang matang. Oleh karena itu, percepatan SPM-SUB sangat terkait dengan dinamika birokrasi pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebagai pihak yang wajib menyediakannya bagi warga. Dalam konteks ini, pekerjaan rumah (PR) yang menanti pun banyak, mulai dari sinergi antarlembaga, penguatan kapasitas hingga pola pikir di aparat pemerintah.

Menurut Direktur Sistem Penanggulangan Bencana BNPB Agus Riyanto, capaian SPM-SUB di daerah harus dicek lagi. Sebab ada daerah yang rajin mengisi formulir dari pusat, memiliki dokumen-dokumen sebagai syarat formal namun ternyata secara kualitas dipertanyakan. Artinya ada kecenderungan pemenuhan syarat adminitratif belaka.

“Yang kita khawatirkan adalah, ketika daerah seperti ini mendapat penghargaan dan dianggap berprestasi, tetapi ketika terjadi bencana malah sebaliknya. Maka penting sekali menyelaraskan kuantitas dan kualitas SPM-SUB ini, jangan hanya dilihat sebagai kewajiban mengisi formulir,” kata Agus.

Agus melanjutkan, memastikan keseriusan penanganan bencana oleh pemerintah daerah memang menjadi salah satu PR BNPB. Cara yang ditempuh beragam. Selain pembinaan dan pengawasan ke daerah, BNPB juga berupaya makin intensif koordinasi dan kolaborasi dengan kementerian/lembaga di level pusat agar pedoman yang terkait kebencanaan dapat sinergis, lebih mudah dipahami, dan lebih mudah dilaksanakan di daerah. Pihaknya juga mencermati dan memberi masukan terhadap penyusunan rancangan petunjuk pelaksanaan SPM-SUB yang sedang dilakukan oleh kemendagri.

“Ada beberapa indikator yang masih bisa menimbulkan multitafsir dan multipersepsi. Ini sedang kami breakdown rancangan tersebut dengan semangat agar mudah diaplikasi dan diimplementasikan oleh teman-teman di daerah,” katanya.

Agus menambahkan, terkait posisi BPBD, ia melihat bahwa secara kelembagaan posisi BPBD selama ini seakan justru terbatasi hanya untuk pemenuhan SPM-SUB. Padahal, akan lebih utuh bila BPBD memiliki kewenangan penuh baik di tahap tahap prabencana, tanggap darurat hingga rehabilitasi.

Analis Kebijakan Ahli Madya Dit. MPBK Ditjen Bina Adwil Kemendagri Frederick Simatupang mengatakan, salah satu motif pemerintah pusat menjadikan SPM-SUB sebagai urusan wajib adalah agar secara top down dan bottom up kepentingannya bertemu di tengah, yakni pengarusutamaan persoalan kebencanaan. Bagi BPBD, keberadaan SPM-SUB menjadi penegas akan pentingnya peran mereka. Peran BPBD itu bahkan melintasi berbagai bidang, seperti pendidikan, sosial, dan ekonomi. “Jangan lagi ada anggapan bahwa BPBD ini adalah tempat buangan,” tegasnya

Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah III Dirjen Bina Bangda Kemendagri Erliani B. Lestari mengatakan, pemahaman pemerintah pusat atas situasi di daerah sungguh penting. Apalagi, setiap daerah memiliki karakter yang berbeda yang tak lepas dari adanya perbedaan pemahaman tentang kebencanaan, perbedaan kerentanan dan ketangguhan, perbedaan sarana prasarana, dan perbedaan komitmen kepala daerah.

“Nah pemenuhan SPM ini sumber dananya ternyata masih mengandalkan dari pusat, padahal mestinya karena sudah menjadi urusan wajib maka pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mengalokasikan APBD yang cukup untuk SPM ini,” ujarnya.

Pengalaman Daerah

Diskusi mengenai SPM-SUB berlanjut ke sesi kedua dalam format talk show interaktif bertema “Standar Pelayanan Minimum Sub Urusan Bencana (SPM-SUB): Peluang dan Tantangan Pelaksanaan di Daerah” dengan pembicara Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Bali I Made Rentin, Analis Kebencanaan Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Lombok Utara NTB Agus Hery Purnomo, Perencana Ahli Muda Bappelitbangda Provinsi NTT Caroline M. C. Wairo, dan Analis Kebijakan Ahli Muda Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah – Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur Rica Fuspita.

Menanggapi diskusi di sesi pertama, para narasumber di sesi kedua mengakui bahwa tidak mudah membuat urusan kebencanaan dilirik apalagi dijadikan prioritas oleh kepala daerah. Untuk itu, memasuki tahun politik di daerah, para penyusun rancangan kebijakan di daerah pun berupaya memanfaatkan momentum.

Perencana Ahli Muda Bappelitbangda Provinsi NTT Caroline M. C. Wairo mengatakan, pihaknya berencana mendekati para calon Gubernur NTT bahkan sebelum pilkada dimulai. Tujuannya agar dalam penyusunan visi misi, para calon gubernur tersebut mengakomodir isu kebencanaan. Dengan begitu, isu kebencanaan tetap ada dalam dokumen-dokumen perencanaan yang baru termasuk Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). “Momennya memang harus sekarang, kalau tidak maka akan terlewat,” katanya.

Caroline mengaku sangat beruntung dalam kurun dua tahun terakhir terpapar banyak informasi tentang kebencanaan dari BPBD dan Program SIAP SIAGA. Hasilnya, dia bersama tim penyusun telah memasukkan data Kajian Risiko Bencana (KRB) dan SPM-SUB ke dalam Rencana Pembangunan Daerah (RPD) NTT 2024 – 2026. RPD ini akan menjadi landasan kerja bagi Penjabat Gubernur NTT hingga gubernur yang baru terpilih.
Analis Kebencanaan Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Lombok Utara NTB Agus Hery Purnomo mengatakan, peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam membantu serta mendorong capaian SPM-SUB di daerahnya cukup besar, terutama sejak gempa besar 2018. Hal serupa juga diugkapkan oleh narasumber lain di sesi ini yaitu Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Bali I Made Rentin dan Analis Kebijakan Ahli Muda Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah – Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur Rica Fuspita.

“Yang mungkin menarik juga strategi kami dalam mencapai SPM-SUB yaitu dengan percepatan pembentukan destana (desa tangguh bencana). Banyak sekali irisan antara destana dan SPM yang bisa dipadukan, karena banyak indikator destana yang terkait dengan muatan SPM. Kami berharap percepatan destana dapat membantu mencapai SPM ini,” kata Agus.

Destana mendukung SPM-SUB

Selain untuk membantu pencapaian SPM-SUB, akselerasi capaian Destana juga diperlukan guna mendorong ketangguhan terhadap bencana di tingkat komunitas. Oleh karena itu, pembahasan mengenai upaya menjamin kebutuhan dasar di hari kedua difokuskan pada Destana, dengan mengambil tema “Desa Tangguh Bencana (Destana): Akselerasi Capaian Destana dengan Pendekatan Konteks Lokal”.

Diskusi di hari kedua ini juga dibagi dalam dua sesi. Pembicara di sesi pertama antara lain Direktur Fasilitasi Pemanfaatan Dana Desa Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Luthfy Latief, Subdit Pemulihan dan Penguatan Sosial Kementerian Sosial Dika Yudhistira Rizqi, dan Direktur Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Pangarso Suryotomo, dengan penanggap Asisten Deputi Kedaruratan dan Manajemen Pasca Bencana, Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Nelwan Harahap.

Sedangkan di narasumber sesi kedua adalah Analis Kebencanaan Ahli Muda BPBD Jawa Timur Dadang Iqwandy, Kepala Bidang Pencegahan & Kesiapsiagaan BPBD Nusa Tenggara Barat Syamsiah Samad, Analis Mitigasi Bencana BPBD Nusa Tenggara Timur Heyn Peter Ahab, dan Wakil Sekretaris Forum PRB Bali Dewi Reny Anggraeni.
Desa Tangguh Bencana dimaknai sebagai desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan jika terkena bencana. Dengan kata lain, Destana berarti desa yang mampu untuk mengenali ancaman, mengelola sumber daya untuk mengatasi kerentanan, dan meningkatkan kapasitas untuk mengurangi risiko bencana.

Dari pengalaman yang dibagikan para narasumber, terlihat jelas perlunya mempertimbangkan konteks lokal, kapasitas fiskal daerah, sumber daya manusia, dan dukungan penuh pemerintah kabupaten/kota dalam akselerasi capaian Destana di daerah. Selain itu, memastikan target percepatan Destana masuk dalam RPJMD juga penting, Capaian Destana yang begitu cepat di Provinsi NTB, misalnya, yang sudah sekitar 75 persen dari target 434 desa, terjadi karena pembentukan Destana menjadi program unggulan dalam RPJMD 2018 – 2023.

“Andai tidak tercapai di 2023 pun, kami sudah memastikan Destana ini tetap menjadi program unggulan di RPD 2024 – 2026. Karena Destana menjadi program unggulan, tidak hanya target kuantitas yang dikejar melainkan juga penguatan kapasitas karena Destana menjadi sistem dan kegiatan yang lain menjadi subsistem,” kata Kepala Bidang Pencegahan & Kesiapsiagaan BPBD NTB Syamsiah Samad.

Bila di NTB akselerasi Destana terjadi karena dijadikan program unggulan dalam perencanaan pembangunan, di Bali faktor adatlah yang menjadi kunci. Provinsi Bali selain memiliki memiliki 1.493 desa adat dan 716 desa dinas.

“Jadi karena masyarakat Bali sangat patuh pada adat, maka pendekatan adatlah yang kami lakukan untuk mengejar ketangguhan bencana. Majelis Adat di provinsi dan kabupaten sangat mendukung (pendekatan ini), sehingga saat ini sedang disusun juklak bagaimana melakukan strategi untuk ketangguhan desa dengan tetap mengacu pada sistem penanggulangan bencana nasional namun tetap dengan pendekatan desa adat,” kata Wakil Sekretaris Forum PRB Bali Dewi Reny Anggraeni.

Dinamika yang terjadi dalam konteks lokal di daerah itulah yang perlu direkognisi dan diakomodasi oleh pemerintah pusat, antara lain dengan regulasi dan kebijakan keuangan. Direktur Kesiapsiagaan BNPB Pangarso Suryotomo mengungkapkan pihaknya merencanakan merevisi Perka 1/2012 tentang Pedoman Umum Destana.

Sedangkan dari aspek pendanaan, Direktur Fasilitasi Pemanfaatan Dana Desa, Kementerian Desa PDTT Luthfy Latief memastikan mitigasi dan penanggulangan bencana alam maupun nonalam tetap menjadi salah satu prioritas penggunaan Dana Desa baik di anggaran 2023 maupun 2024. “Desa dapat langsung menggunakannya hanya melalui mekanisme musyawarah, yang juga tidak perlu terlalu formal. Misalnya di tempat pengungsi mereka sepakat untuk menggunakan dananya untuk penanggulangan bencana skala desa, maka silakan dipakai,” kata Luthfy Latief.

Kolaborasi dan komitmen

Kolaborasi dan akomodasi terhadap karakter serta dinamika komunitas menjadi hal yang selalu diulang sebagai strategi yang mempercepat sekaligus menjamin layanan dasar warga melalui capaian SPM-SUB maupun Destana. Keduanya dapat dicapai melalui komunikasi, koordinasi dan berbagi pengetahuan secara intensif di antara para pihak, yang dalam konteks bencana lazim disebut pentahelix.

”Semangat yang kita usung di sini adalah tidak hanya mengurangi bencana tapi membangun resiliensi bangsa kita. Bagaimana risiko menjadi resiliensi ini harus kita wujudkan secara nyata. Salah satu contoh yang sudah bergerak sejak 2012 adalah bagaimana desa tanguh bencana menjadi penting untuk diwujudkan dan menjadi target dari masing-masing provinsi untuk masuk dalam RPJMD,” ujar Deputi Sistem dan Strategi BNPB Raditya Jati.

Dukungan dari berbagai pihak menjadi penting saat melihat realitas begitu luasnya wilayah Indonesia. Salah satunya adalah komitmen yang ditegaskan oleh Pemerintah Australia, yang selain akan terus memfasilitasi upaya pertukaran pengetahuan melalui rangkaian diskusi, juga mendukung berbagai inovasi yang dilakukan di tingkat provinsi untuk mengakselerasi capaian program Destana.

“Pemerintah Australia juga mendukung penuh upaya Pemerintah Indonesia dalam tercapainya kebijakan pelayanan minimum di sektor kebencanaan. Dengan tingginya risiko bencana di Indonesia, maka kesiapsiagaan pemerintah baik di pusat dan daerah serta di tingkat komunitas menjadi prasyarat utama dalam mewujudkan ketangguhan yang berkelanjutan,” kata Sarah Stein selaku First Secretary, Humanitarian, Kedutaan Australia untuk Indonesia.