Menyusun Pedoman Bersama untuk Ketangguhan yang Berkelanjutan


Hairul mengatakan, saat ini siapapun yang ingin berkontribusi dalam pembentukan desa tangguh bencana sangat dimudahkan dengan adanya Pergub tersebut. “Jadi Program SIAP SIAGA memfasilitasi kolaborasi para pihak untuk menghasilkan standar yang sama agar bisa dievaluasi dan dimonitor bersama. Memang BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) punya pedoman tentang Destana, tapi itu tidak mudah dioperasikan di level desa. Jadi Pergub ini adalah milestone bagi gerakan pembangunan ketangguhan bencana berbasis desa di NTB,” terangnya.

Gempa bumi besar yang mengguncang Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 2018 memicu berbagai pihak untuk mendorong ketangguhan masyarakat agar bisa mengelola risiko bencana. Perlu pedoman bersama agar berbagai inisiatif baik itu bisa saling bersinergi dan berkelanjutan. Menurut Hairul Anwar, Manajer Program KONSEPSI, dibandingkan masa pascabencana sekitar lima tahun lalu, ia merasa kini lebih mudah dalam mengelola program ketangguhan bencana di NTB. Ia dan tim tak lagi perlu merasa pusing dalam mengimplementasikan program di desa-desa karena kini NTB telah memiliki pedoman tentang ketangguhan desa yang bisa menjadi rujukan bersama.

“Pihak desa pun sekarang lebih paham memosisikan program-program pihak ketiga untuk mendukung aktivitas menuju ketangguhan yang selama ini sudah mereka lakukan. Sinerginya jadi lebih enak, baik dengan desa, pemerintah desa, kabupaten, dan provinsi, maupun dengan pihak lain yang memiliki program serupa,” katanya.

KONSEPSI atau Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi adalah mitra Program SIAP SIAGA di Provinsi NTB. Sejak mulai bekerja di Provinsi NTB pada Mei 2021, salah satu fokus Program SIAP SIAGA adalah mendukung pemerintah daerah dalam penguatan dan pengembangan kebijakan serta regulasi untuk kesiapsiagaan bencana melalui peningkatan kapasitas terkait dengan ketangguhan desa. Fokus tersebut berkorelasi dengan misi pertama Gubernur NTB yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi NTB 2018-2023, yang secara eksplisit menyebutkan target capaian pembentukan Destana sebanyak 434 desa hingga akhir 2023.

83 a. Collaborative 01

Lalu Satria Utama, Fungsional Perencana Ahli Madya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi NTB mengatakan, refleksi pascagempa 2018 antara lain menyoroti potensi bencana di wilayah-wilayah yang semula bukan termasuk daerah rawan bencana. Dari situ, disimpulkan bahwa langkah yang paling efektif untuk menyiapkan ketangguhan adalah dengan memulainya dari level desa. Desalah yang paling paham dengan kondisinya sendiri. Desa juga memiliki sumber daya yang lebih dibandingkan pemerintah provinsi yang kemampuan keuangannya terbatas. “Maka akhirnya dimasukkanlah desa tangguh bencana ini ke dalam RPJMD 2018 – 2023, dengan target pembentukan 434 Destana hingga akhir 2023,” ujarnya.

Namun, target tersebut mesti berhadapan dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Bila merujuk pada Rencana Penanggulangan Kemiskinan Daerah (RKPD) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi NTB, dalam setahun anggaran yang dialokasikan hanya cukup untuk pembentukan 10 destana. Itu berarti, dalam lima tahun jumlah maksimal yang terbentuk adalah 50 Destana.

Selain itu, semangat untuk mempercepat pembentukan Destana dipandang perlu ditopang konsep dan panduan yang matang. Menurut Lalu, pihaknya sebenarnya mengetahui bahwa ada banyak pihak lain baik itu pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maupun perguruan tinggi yang sudah mengimplementasikan program serupa Destana. Namun, data terkait program-program tersebut belum terkompilasi dengan sistematis sehingga sulit untuk diselaraskan dengan program Destana yang didorong Pemprov NTB. 

Hairul membenarkan bahwa di lapangan ada banyak program serupa Destana. Antara lain Kampung Siaga Bencana (KSB) oleh Kementerian Sosial, Program Kampung Iklim (Proklim) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Tim Siaga Bencana Berbasis Masyarakat (SIBAT) oleh Palang Merah Indonesia. Masing-masing pihak yang mengimplementasikan programnya dengan indikator yang berbeda-beda. Indikator merupakan hal penting dalam konteks pembentukan Destana. Tanpa indikator yang jelas dan selaras, akan sulit untuk memantau dan mengevaluasi kualitas ketangguhan desa-desa yang telah didampingi.

 Selain itu, terdapat desa yang pernah menjadi lokasi sejumlah program serupa namun dengan nama dan pelaksana yang berbeda. Hal semacam itu membuat desa kesulitan untuk melanjutkannya, bahkan tidak jarang menganggapnya sebagai beban.

“Pada titik inilah kami bersyukur mendapatkan dukungan dari Program SIAP SIAGA yang menawarkan pendekatan berbasis sistem yang sangat dibutuhkan dalam situasi seperti itu,” kata Hairul.

83 b. Collaborative 02

Perubahan sistem dan paradigma 

Lalu Satria menyatakan, kehadiran Program SIAP SIAGA membuat Bappeda memiliki mitra dalam menyusun dokumen perencanaan yang berbasis pengurangan risiko bencana. Dokumen tersebut sangat diperlukan sebagai formula untuk memastikan keberlanjutan dari program-program pembangunan yang diimplementasikan.

Selain dokumen perencanaan, lanjut Lalu Satria, hal lain yang sangat diperlukan adalah perubahan pola pikir, khususnya dari mindset “bencana adalah urusan BPBD” menjadi “bencana adalah urusan bersama”. Meskipun pengurangan risiko bencana belum menjadi Indikator Kinerja Umum (IKU), Bappeda NTB berupaya membuat para pihak melihat perkara bencana adalah penting dan menjadi urusan bersama. Caranya antara lain dengan mewajibkan sejumlah Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) yang bertugas memberikan pelayanan dasar seperti Dinas Kesehatan maupun Dinas Perumahan dan Permukiman untuk menggunakan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang merujuk pada dokumen kebencanaan.

“Agar semua jajaran pemerintah dari provinsi sampai desa menganggapnya penting, harus menjadi mandatory yang tertuang di perencanaan agar perubahannya sistematis. Itulah yang kami lakukan bersama sejak awal Program SIAP SIAGA masuk,” kata Lalu Satria.

Bersamaan dengan perubahan pola pikir itu, Bappeda mengkoordinasikan perumusan aturan yang bisa menjadi payung bagi percepatan pembentukan Destana di NTB. Perumusan aturan itu melibatkan multipihak di NTB, yakni tim BPBD sebagai penulis dan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) NTB sebagai tim perumus. FPRB NTB terdiri dari beberapa lembaga/program yaitu Program SIAP SIAGA, KONSEPSI, Mitra Samya, Universitas Mataram, Berugak Dese, Koslata, dan Dinas Sosial. Hasilnya adalah Peraturan Gubernur No. 84 Tahun 2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Kelurahan dan Desa Tangguh Bencana. Selain mendorong pembentukan Destana, Pergub tersebut juga menyediakan acuan bersama untuk memetakan, memantau serta mengevaluasi implementasi Destana.

Hairul said that, now, this Government Regulation makes it very easy for anyone wanting to contribute to establishing Destana. “The SIAP SIAGA Program strategically fosters collaboration to develop the same standards and to facilitate joint evaluation and monitoring efforts.  While the National Disaster Management Agency (BNPB) Hairul mengatakan, saat ini siapapun yang ingin berkontribusi dalam pembentukan desa tangguh bencana sangat dimudahkan dengan adanya Pergub tersebut. “Jadi Program SIAP SIAGA memfasilitasi kolaborasi para pihak untuk menghasilkan standar yang sama agar bisa dievaluasi dan dimonitor bersama. Memang BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) punya pedoman tentang Destana, tapi itu tidak mudah dioperasikan di level desa. Jadi Pergub ini adalah milestone bagi gerakan pembangunan ketangguhan bencana berbasis desa di NTB,” terangnya.

Hairul menambahkan, selama ini desa sudah melakukan aktivitas dan program yang terkait PRB dengan indikator yang serupa dengan Destana. Pergub tersebut menjadi acuan untuk meyakinkan pihak desa bahwa mereka selama ini telah mengimplementasikan indikator Destana. Dengan demikian, desa tidak lagi menganggap Destana sebagai sesuatu yang baru dan memberatkan serta hanya berorientasi proyek jangka pendek.

To quickly  accelarate the achievement of Destana targets,  Bappeda have expanded the involved parties, including the Community Empowerment Office, Village Government, Citizenship and Civil Registry Office (DPMDDukcapil) of NTB, and village assistants or pendamping desa. Untuk lebih cepat menambah jumlah Destana, para pihak yang dilibatkan pun semakin diperluas, termasuk Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintahan Desa, Kependudukan dan Catatan Sipil (DPMDDukcapil) NTB dan para pendamping desa. Mereka memiliki akses langsung ke desa sehingga dukungannya sangat penting dalam pembentukan maupun pemantauan Destana. Tim multipihak ini menghasilkan formula Penilaian Ketangguhan Desa (PKD) sebagai instrumen terpadu untuk mengevaluasi, memberi status ketangguhan, hingga memantau perkembangan ketangguhan desa. Didukung dengan sistem informasi kebencanaan, yang dikenal sebagai Dashboard Destana, pemantauan dan evaluasi Destana di NTB kini menjadi semakin mudah.PKD) as an integrated instrument to evaluate and determineresilience status, and to monitor village resilience development. Supported by a disaster management information system known as the Destana Dashboard, monitoring and evaluating Destana in NTB has now become easier. 

Oleh karena itu, meskipun hingga awal Oktober 2023 masih ada 129 Destana yang belum terbentuk, baik Lalu Satria maupun Hairul optimis target 434 Destana akan terpenuhi baik secara kuantitas maupun kualitas.

83 c. Collaborative 03

logo siapsiaga white

Kami akan senang mendengar dari Anda.
Jangan ragu untuk menghubungi menggunakan detail di bawah ini.

Alamat:
SIAP SIAGA
Treasury Tower 59th Floor, District 8 SCBD Lot 28, Jl. Jend. Sudirman Kav 52 – 53
Jakarta Selatan, 12190, Indonesia
Telepon: +6221 7206616
Email: siap.siaga@thepalladiumgroup.com